Sri Mulyani Akhirnya Melunak!

Semula peraturan itu bakal diberlakukan pada 1 April 2019. Namun, hingga saat ini aturan teknis berupa peraturan direktur jenderal pajak (perdirjen) tidak kunjung diterbitkan. Pelaku juga merasa pembahasan tentang pajak penjualan via digital belum sepenuhnya klir dan fair.

Ketua Bidang Ekonomi Digital idEA Bima Laga menyebutkan, ada beberapa poin dari peraturan tersebut yang belum siap diimplementasikan. Misalnya, pengawasan atas transaksi di media sosial (medsos). “Kami berharap PMK turunannya positif dan fleksibel. Tetapi, ada satu bagian yang kami merasa itu masih perlu diatur. Contohnya, media sosial yang sama sekali tidak ada dan bentuk pelaporan satu pintunya belum klir 100 persen,” ujar Bima.

Bila pajak e-commerce hanya berlaku untuk marketplace, lanjut dia, berarti pemerintah bersikap tidak adil untuk model bisnis lainnya. Dia khawatir banyak penjual yang justru pindah berjualan lewat medsos. “Penurunan belum terjadi karena aturan ini belum berlaku. Tetapi, kalau melihat dari besaran user, bakal terjadi penurunan,” jelas Bima.

“IdEA memiliki data yang menunjukkan medsos seperti Facebook dan Instagram meraup porsi 66 persen dari keseluruhan transaksi secara online di Indonesia pada 2017. Hanya 16 persen yang bertransaksi melalui platform marketplace,” ungkapnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menjelaskan, penerapan pajak e-commerce memungkinkan ditunda karena perdirjen tidak kunjung terbit. Meski perdirjen diterbitkan, dibutuhkan waktu setidaknya tiga sampai empat bulan untuk sosialisasi.

Yustinus menambahkan, transaksi e-commerce di luar platform marketplace seperti online retail, classified ads, daily deals, atau medsos sebenarnya bisa mengikuti ketentuan dalam PMK Nomor 210 Tahun 2018. “Namun, pemerintah perlu segera membuat peraturan lanjutan agar terjadi equal treatment,” terangnya. (din/ful/fin)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan