Warga Cireundeu Bertahan tanpa Mengonsumsi Nasi dari Beras

“Anak mah bebas mau ikut siapa,” ungkapnya dengan logat Sunda kental.

Saat keluar kota atau pergi kondangan, Sopiah juga selalu membawa bekal beras singkong. “Kalau (pergi) lama, bawa bahan yang mentah, masak sendiri,” imbuhnya sambil mengocok telur dengan mikser di balai adat tempat ibu-ibu memasak kue siang itu.

Indonesia adalah negeri beras. Dalam periode Januari sampai November 2018, misalnya, pemerintah harus mengimpor beras sebanyak 2,25 juta ton. Jauh melonjak dari periode Januari-Desember setahun sebelumnya yang mencapai 305,2 ribu ton.

Mengutip artikel Zen Rahmat Sugito di National Geographic Indonesia, pada 1954 pangsa beras di Indonesia hanya 53,5 persen. Separonya merupakan para pemakan nonberas. Pada 1987 angka itu melonjak menjadi 81,1 persen. Dalam rentang 45 tahun, dari 1954-1999, pangsa singkong yang semula 22,6 persen menyusut menjadi hanya 8,83 persen.

Abah Widia jelas masuk dalam yang 8,83 persen itu. Sepanjang hidupnya yang kini telah menyentuh 57 tahun, tak sekali pun wakil ketua adat Cireundeu itu makan nasi beras.

Bukan hanya beras dalam bentuk nasi, kue-kue yang terbuat dari tepung beras pun dia belum pernah mencicipi. Begitu juga istri dan anak-anaknya. “Makan kue dari tepung beras pun abah belum pernah,” ucap pria yang sehari-hari bekerja menjaga warung itu.

Salah satu kelebihan rasi, menurut para warga Cireundeu, gampang mengenyangkan. Sehari cukup dua kali mengonsumsi. “Makan satu centong saja sudah kenyang,” kata Abah Widia.

Inti dari makanan, menurut Abah Widia, adalah membuat kenyang. Pola pikir yang salah adalah menyebut beras sebagai makanan pokok. Padahal, masih banyak sumber makanan pokok lain.

Cireundeu sudah ada sejak abad ke-16. Sejak 1918 warga kampung itu mencoba berbagai jenis umbi-umbian seperti ganyong dan jagung. Kala itu masyarakat setempat masih mengonsumsi beras padi. Enam tahun berselang, tepatnya pada 1924, ditemukan singkong oleh sesepuh perempuan bernama Ambu Omah Asnamah.

Ketela dipilih sebagai bahan makanan pokok kala itu dengan pertimbangan lebih mudah ditanam. Kebutuhan sehari-hari warga sudah terpenuhi dengan adanya lahan pertanian 40-50 hektare. Termasuk hutan dengan luas sekitar 6 hektare.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan