Eka Tjipta (1)

Pada umur sekecil itu Eka ikut kapal. Dari daerah Hokkian. Mengarungi lautan bebas. Menyusul ayahnya. Yang sudah lebih dulu ke Makassar.

Sang ayah waktu itu sudah punya rumah. Meski dindingnya terbuat dari bambu (gedhek). Dan atapnya dari rumput. Mungkin maksudnya: daun rumbia.

Sang ayah sudah punya usaha kecil-kecilan. Toko sederhana. Eka tidak ingin sekolah dulu. Ingin membantu ayahnya.

Yang dia pilih adalah: menjajakan barang mirip yang ada di toko ayahnya. Ke kampung-kampung. Dia tidak mau hanya ikut menjaga toko. Tapi memilih ”jemput bola” ke rumah konsumen.

Masih kecil. Hanya bisa bicara Hokkian. Tapi sudah punya cara dagang yang berbeda. Ketika umurnya 12 tahun ayahnya minta Eka sekolah. Di sekolah Tionghoa Makassar. Ketika ditest kemampuannya masih terbatas. Tertinggal dari umurnya. Eka harus memulai dari kelas satu.

Eka tidak mau. Dia ingin langsung kelas tiga. Dia sangat malu. Kalau harus satu kelas dengan anak umur 7 tahun. ”Saya terus pegangi kaki kepala sekolah. Saya sembah. Saya ciumi kaki itu,” ujar Eka.

Kepala sekolah iba. Eka dimasukkan kelas tiga. Tapi bahasa Mandarin pun belum bisa. Semua pesimis Eka akan bisa naik kelas.

Yang bikin guru jengkel adalah pemberontakannya. Terutama guru berhitung. Eka tidak mau ikut urutan pelajaran hitung: tambah-kurang-bagi-kali.

Eka selalu memulai dari kali-tambah-kurang-bagi. ”Kalau belum-belum sudah dikurangi dan dibagi mana cukup,” katanya mengenang.

Sampai-sampai guru menjintingnya. Memegang dua kakinya. Dijantur. Kaki di atas. Kepala di bawah. ”Hayo, sekarang berjalanlah. Bisa nggak,” bentak sang guru. Sambil terus memegang dua kaki Eka di atas.

”Tidak bisa. Ampun,” teriak Eka.

”Nah begitu juga berhitung. Tidak bisa dibalik-balik,” ujar sang guru. Seperti yang diceritakan Eka.

Tamat SD Eka tidak mau sekolah lagi. Logikanya: sekolah agar bisa bekerja. Saya harus bisa bekerja tanpa sekolah. Kalau siang untuk sekolah tidak bisa bekerja. Kalau siang untuk bekerja bisa sekolah malam.

Siang hari Eka bekerja. Hasil kerjanya untuk memanggil guru. Malam hari. Belajar di rumahnya. Ijazahnya memang hanya SD tapi pengetahuannya tidak kalah dengan tamatan SMA. Plus pengalaman kerja.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan