BANDUNG – Dalam pagelaran pemilu di Indonesia, siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sudah mencapai umur 17 tahun sudah memiliki hak suara. Sebagai pemilih-pemilih pemula, literasi politik bagi siswa menjadi penting guna memberi edukasi seputar perpolitikan di Indonesia. Selain dilakukan oleh praktisi, lembaga pendidikan juga mampu berperan dalam proses perkembangan literasi politik, salah satunya dengan cara berorganisasi di sekolah.
Dosen Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Muslim Mufthi mengatakan, suara generasi muda dalam ajang pemilihan kepala negara dan kepala daerah sangat signifikan. Sehingga generasi ini memiliki pengaruh yang besar terhadap masa depan bangsa. ”Suara mereka signifikan, namun mereka harus dibentuk, karena siswa masih labil dan mudah terpengaruh oleh isu-isu yang ada,” tuturnya saat ditemui di kediamannya, Perumahan Adipura, Kecamatan Gedebage, Kota Bandung baru-baru ini.
Doktor lulusan Univesitas Indonesia ini menjelaskan, ada tiga faktor bagaimana seseorang terpengaruh dalam pilihan politiknya, yakni faktor psikologis, sosial dan pilihan rasional. Faktor psikologis itu berhubungan dengan keadaanya sebagai individu, sedangkan dalam faktor sosiologis, seseorang akan terpengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. “Sedangkan faktor pilihan rasional, individu akan memilih hak suaranya sesuai dengan pilihan yang ia rasa benar, karena sudah ada kajian yang dia lakukan sebelum memilih,” tuturnya.
Berangkat dari sana, Muslim mengimbau agar literasi politik mulai digalakan kepada kalangan pelajar. Beberapa caranya adalah dengan memanfaatkan media sosial sebagai media sosialisasi bagi para praktisi atau instanti tertentu terkait pentingnya literasi politik. Seperti misalnya yang dilakukan oleh Sekretatiat Jendral dan Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (SETJEN dan BK-DPR RI) yang selenggarakan kegiatan Parlemen Remaja Tingkat SMA/SMK/MA pada September silam. Dan juga lewat lembaga pendidikan sebagai sarana pengenalan tentang pendidikan kepemimpinan.
Menurut dia, siswa sudah mulai belajar dilibatkan di dalam kepemimpinan di organisasi sekolah (OSIS maupun ekstrakulikuler). Bagaimana caranya menjadi pemimpin yang baik bijak dan adil, dan menjadikan organisasi sebagai alat musyawarah dan mengasah kemampuan berinteraksi. “Jadi bukan hanya belajar di kelas saja, tapi praktek (berorganisasi). Nanti mereka akan terbiasa dan paham,” katanya menambahkan seperti dilansir laman resmi Disdik Jabar. (*/ign)