Semuanya belum bisa dikatakan sekarang. Baru jelas setelah CT scan yang lebih khusus dilakukan. Sambil menjelaskan skenario-skenario itu, James Wong sesekali menatap layar monitor. Kian lama wajahnya kian tegang. Posisi saya tidak memungkinkan ikut melihat layar monitor. Saya hanya bisa membacanya lewat ekspresi wajah James Wong.
”Kok tekanan darah naik terus ya…,” katanya. Dia panggil perawat. Untuk memasukkan obat penurun tekanan darah. Lewat selang infus yang sudah terpasang. Tapi tekanan darah masih naik lagi.
James minta obatnya ditambah. Masih naik lagi. Minta ditambah lagi. Angka menunjukkan 200. James tampak gelisah sekali. Mondar-mandir. Tegang.
James tidak bisa berkata-kata lagi. Tangannya yang bicara. Memberi isyarat kepada perawat. Untuk terus menaikkan obat penurun tekanan darah. Sampai maksimal.
Beberapa saat kemudian, tekanan darah saya menurun. Terus menurun. James lega. Apalagi saya. Setelah tekanan stabil dia pun pamit. Dengan janji akan terus memonitor keadaan saya lewat telepon.
Saya pasrah. Terus memikirkan tindakan yang akan dilakukan untuk atasi aorta dissection itu. Skenario yang mana pun saya sudah siap.
Saya tidak menceritakan itu kepada keluarga di Surabaya. Biarlah semua jelas dulu. Saya tahu istri saya lagi susah. Ibunya malam itu masuk rumah sakit di Tenggarong, Kutai Kartanegara. Saya tidak mau menambah beban batinnya. Saya juga tahu dia percaya penuh pada Robert Lai yang akan merawat saya sepenuhnya.
Malam itu saya lewatkan di ICU sendirian. Ditemani dzikir tiada henti. (*)