Bandung – Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Jawa Barat Ahmad Hadadi mengatakan, informasi yang beredar terkait kewajiban hadir selama 5 hari kerja dalam seminggu dan mengajar minimal 32 jam bagi guru SMA/SMK adalah tidak benar.
Menurut Hadadi, dalam seminggu atau 5 hari masa kerja, guru hanya diwajibkan untuk bekerja selama 24 jam. Hal tersebut dimaksudkan sebagai syarat penilaian agar guru mendapat Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP).
”Bukan 32 jam, tapi 24 jam seminggu dan itu syarat guru mendapat tunjangan,” kata Hadadi kepada Jabar Ekspres kemarin (24/1).
Selain itu, Hadadi juga mengklarifikasi dan membantah terkait informasi honor Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) yang diinformasikan tidak memiliki hak cuti melahirkan.
Hadadi menegaskan, informasi yang benar terkait kabar tersebut adalah pihaknya menyatakan tidak ada cuti tahunan bagi guru dan tenaga kependidikan non Pegawai Negeri Sipil (PNS). ”Apabila melahirkan dan sakit kebijakan ada di kepala sekolah,” ujarnya.
Sebelumnya, beredar resume rapat berisi kutipan pernyataan Kadisdik Jawa Barat Ahmad Hadadi tentang keharusan mengajar tatap muka 32 jam per minggu bagi guru Aparatur Sipil Negara (ASN). Resume tersebut memicu keresahan ribuan guru honorer di Jabar.
Terlebih di beberapa tempat kabar tidak resmi tersebut langsung ditindaklanjuti para guru dengan mengubah jadwal pelajaran. Sebab, guru honorer merasa terancam kehilangan jam mengajar.
Keresahan tersebut ditanggapi Pengurus Pusat Ikatan Alumni Univesitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) yang menilai keharusan mengajar tatap muka di kelas menunjukkan bahwa Disdik mencoba menyederhanakan masalah pelik pendidikan di Jawa Barat.
Sebab, selain tidak sesuai jika ditinjau dari sudut pandang anggaran, IKA UPI menganggap, Kadisdik Jawa Barat kurang memahami dengan baik profesi sebagai guru.
IKA UPI menilai, guru tidak bisa dipersamakan dengan ASN lain di pemerintahan karena untuk hadir di depan kelas selama dua jam pelajaran misalnya, guru memerlukan persiapan mengajar yang tidak ringan.
Keresahan itulah yang kemudian melatarbelakangi Pengurus Pusat Ikatan Alumni Univesitas Pendidikan Indonesia (IKA UPI) untuk mendiskusikan secara terbatas bersama sejumlah pemangku kepentingan di Grand Asrilia Hotel Bandung pada Selasa (23/1) lalu.