Pastikan Revisi PM 26 Berlaku 1 November

Di luar sembilan poin yang menjadi panduan untuk para penyelenggara angkutan taksi online, Budi mengatakan ada tiga hal yang berbeda dengan PM 20/2017 sebelumnya yang telah dicabut Mahkamah Agung (MA). Ketiga poin tersebut mengenai aturan adanya stiker ASK (Angkutan Sewa Khusus), SIM umum bagi para pengemudi, asuransi untuk pengguna dan pengemudi, dan kewajiban aplikasi memberikan akses Digital Dashboard kepada direktur jenderal, kepala badan, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.

Menkominfo Rudiantara mengatakan, pemberian akses digital dashboard perlu dilakukan agar pemerintah bisa memonitor pergerakan taksi online di lapangan. ”Misalnya nih sudah ditentukan kuotanya 10 mobil. Tahunya di dashboard ada 15 mobil. Itu langsung kami tanyakan ke penyedia aplikasinya. Kok ini jadi 15? Kan harusnya 10,” kata Menkominfo Rudiantara.

Budi menuturkan, nantinya revisi PM 26/2017 itu juga akan mengatur sanksi jika ada yang tidak mau mengikuti aturan. Untuk pelanggaran yang dilakukan perusahaan aplikasi, Kemenkominfo yang nantinya akan berwenang melakukan teguran. Sementara untuk pelanggaran yang dilakukan perusahaan penyedia angkutan online, teguran akan dilakukan oleh Kemenhub. ”Ya tentunya nanti akan ada semacam sanksi-sanksi apabila mereka tidak bisa memenuhi,” ujar Budi.

Sementara itu, Ketua Umum Organda Andrianto Djokosoetono mengajak semua pihak untuk tetap kondusif. Andrianto menyetujui jika ada aturan yang menyerupai PM 26/2017. Alasannya agar tetap ada keseimbangan. Tidak ada yang merasa dirugikan.

Ketika ditanya mengenai peraturan baru yang tengah digodog Kemenhub, Andrianto mengaku tidak keberatan. ”Semua kan butuh aturan. Kita ikuti saja sesuai aturannya,” ucapny.

Sekjen Dewan Pengurus Pusat (DPP) Organda Ateng Aryono menambahkan jika hingga berita ini ditulis, pihaknya belum perhan melihat revisi PM 26 yang akan digunakan untuk menggantikan peraturan tersebut. ”Kami belum lihat PM persisnya,” ujarnya.

Walaupun demikian, dia telah melihat butir-butir yang akan diperbaharui. Menyikapi hal itu Ateng merasa masih ada ketimpangan. Pasalnya, perusahaan aplikasi tidak dipersyaratkan harus ijin ke Kemenhub. ”Mereka “dagang” yang komoditinya angkutan umum, tapi seolah Cuma dikasih rambu larangan. Padahal dari kapapun mereka eksism larangan (PM 32/2016 atau PM 26/2017) selalu diterjang, tanpa peduli aturan,” ujarnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan