PUPR Perbanyak Sumber Air Buatan

jabarekspres.com, JAKARTA – Kekeringan yang melanda Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara harus segera mendapatkan solusi permanen. Sebab, pada 2018 mendatang, tingkat kekeringan diperkirakan lebih tinggi.

Antisipasi yang tepat dari pemerintah maupun masyarakat akan bisa setidaknya meminimalisir dampak kondisi kekeringan itu.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut kekeringan tahun ini adalah akumulasi dari aktivitas yang merusak lingkungan. ”Siapapun tahu kalau prosesnya sudah terjadi sejak lama,” katanya.

Dalam laporan dari berbagai daerah, Siti menyebut indikator paling konkrit adalah laporan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan tentang mata air Cicurug. ”Sumber air itu sudah lama nggak pernah kering, sekarang malah kering,” kata Siti di gedung DPR kemarin (13/9).

Siti menyebut ada problem ”hulu” yakni melemahnya kawasan hutan sebagai kekuatan utama penyimpan air tanah. Terkikisnya hutan disebabkan oleh banyak faktor seperti illegal loging, alih fungsi lahan, sampai penataan kawasan. ”Penataan ruangnya di daerah juga kadang tidak tepat,” ungkapnya.

Dalam catatan KLHK, pada tahun 2000, ditemukan deforestasi di indonesia telah menyentuh angka 2 juta hektar. Saat itu kewenangan pengelolaan hutan masih berada di Bupati/Walikota. Setelah ditarik ke KLHK, proses deforestasi bisa diperlambat. Pada tahun 2014 terekam proses deforestasi mencakup 400 hektar lahan. ”Tapi hitungannya naik karena ada karhutla, jadi 600 sampai 800 hektar,” kata Siti.

Siti menegaskan bahwa per­soalah hulu ini mesti diwaspa­dai. Pada tahun 2018 masa kemarau disebutnya bakal lebih panjang. Hanya ada curah hujan tinggi pada periode Ja­nuari hingga Februari. Kawasan NTT dan NTB curah hujannya masih rendah. ”Untuk kawasan Riau sudah harus waspada sejak Mei,” ungkapnya.

Sementara itu, reboisasi maupun restorasi hutan tidak akan terjadi dalam waktu singkat. Tahun ini KLHK telah mengupayakan penanaman kembali 5.400 hektar lahan. DPR pun telah menyetujui penambahan anggaran pen­anaman hutan dari Rp 800 miliar hingga menjadi Rp 1,1 triliun pada tahun ini.

Beberapa budidaya komoditas tanaman kata Siti juga berpeng­aruh. Seperti di NTB yang ramai-ramai membuka lahan untuk tanaman jagung. Namun, ia menyatakan masih akan mela­kukan pendalaman lebih lanjut tentang seberapa parah kerusa­kan wilayah hutan di Jawa dan Nusa Tenggara. ”Bener-bener harus kita cek dan pastikan ke lapangan,” tandansya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan