Selama ini lukisan selalu identik dengan sapuan cat di atas kanvas. Namun, Zaenal Beta punya gaya berbeda. Dia menggoreskan tanah liat di jemarinya ke kanvas. Kini namanya sudah mendunia.
AGFI SAGITTIAN, Makassar
TANGAN Zaenal Beta berlumur tanah. Lincah menari di atas kanvas. Bermodal secangkir tanah liat bercampur air, pria berperawakan kurus tersebut terlihat cekatan membuat gambar-gambar dasar dengan tangan kosong. Misalnya, rerumputan, pohon, dan awan. Semua itu dilakukan Zaenal di studionya di kompleks Benteng Fort Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan.
Di salah satu bangunan pada benteng yang berdiri di atas lahan seluas 3 hektare itu pula, Zaenal berkarya dan membagikan ilmu kepada orang-orang di sekitarnya. Awalnya, sejumlah kalangan memang ragu menyebut Zaenal sebagai pelukis. Sebab, media lukisnya bukan cat, melainkan tanah liat.
Namun, keunikan tersebut justru berhasil membesarkan nama dan karya Zaenal, bahkan hingga mancanegara.
Saat ditemui di studionya, dengan raut ramah, Zaenal mempersilakan masuk ke bangunan yang lebih mirip aula tersebut. ”Wisatawan yang mengunjungi benteng banyak yang main ke sini. Siapa saja boleh mampir kok, baik untuk sekadar ngobrol atau belajar melukis,” ujarnya.
Zaenal lantas mengambil cangkir berisi tanah liat. Lalu, mencampurnya dengan sedikit air dan menyaringnya untuk mendapatkan karakter tanah liat dengan warna yang pas di kanvas.
Lima jemarinya dicelupkan tipis ke cangkir tersebut. Dia pun mulai memoles kanvas di hadapannya. Sambil memperagakan cara melukis dari tanah liat, Zaenal mulai bercerita tentang profesi yang sudah ditekuninya selama 36 tahun tersebut.
”Dulu tidak sengaja punya ide melukis dari tanah liat. Waktu itu sedang belajar melukis, lalu gambarnya gagal. Gambar tersebut jatuh di tanah dan ketika dibersihkan kok jadi objek baru. Dari situ saya melihat suatu pola yang menjadi awal inspirasi,” kenangnya.
Zaenal yang saat itu berusia 20 tahun pun mulai menekuni seni lukisan dengan media tanah liat. Tanpa guru, Zaenal mempelajari teknik melukis tanah liat secara otodidak. Sesekali, pria tamatan sekolah menengah pertama (SMP) itu berdiskusi dengan sesama seniman, yang tak jarang malah berujung cibiran atau komentar negatif tentang ide nyelenehnya.