Syawaludin-Febriarti Khairunnisa Membangun Bank Sampah di Lombok

Sore itu staf Kemenristekdikti ingin meninjau alat yang berbentuk seperti tandon air tersebut di kompleks Bank Sampah Bintang Sejahtera. Alat itu bisa digunakan untuk mengolah sampah menjadi biogas, kompos cair, serta kompos padat. ”Empat alat ini bisa mengolah 25 ton sampah sekaligus,” papar Febri.

Alumnus Universitas Mataram itu menyatakan, bank sampah yang didirikannya bersama suami pada Juni 2010 di Desa Jempong, Kecamatan Sekar Bela, Kota Mataram, itu ternyata memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan Kota Lombok. Sebab, saat itu kondisi lingkungan Lombok cukup kotor, penuh sampah. Masyarakat masih sering membuang sampah dengan sembarangan. Selain itu, banyak anak yang drop out dari sekolah sehingga menambah buruk citra Lombok di mata orang luar.

Perempuan 32 tahun tersebut sedih melihat kondisi itu. Dia sangat malu ketika suatu hari kedatangan tamu dari Jerman. Turis itu sebenarnya takjub melihat kecantikan Lombok, tapi sayang banyak sampah yang berserakan di jalan-jalan maupun pantai. ”Lombok itu cantik, tapi kotor,” ungkap Febri menirukan ucapan tamu asingnya itu.

Dari sindiran turis dari Jerman itulah Febri bersama suami tergerak untuk mencari jalan ke luar sehingga Lombok bersih. Awalnya berupa gerakan membuang sampah di tempatnya. Namun, cara itu kurang efektif karena tidak disertai aksi nyata di lapangan.

Maka, Febri dan Syawaludin kemudian menemukan ide bank sampah yang mampu menyulap sampah menjadi rupiah. Dari situ, masyarakat langsung tertarik untuk mengikuti ide Febri dan suami tersebut.

”Terus terang, tidak ada yang mengajari bagaimana mengolah sampah menjadi rupiah itu. Saya hanya belajar dari internet,” kata Febri.

Bila Febri bergelut di hal teknis, suaminya bertugas mencari pasar untuk menjual sampah yang sudah dipilah dan dipilih itu. Sebab, bila belum ada pembeli bank sampah tersebut, pekerjaan mereka kurang berdampak ekonomi. Dan, itu pasti kurang menarik masyarakat untuk mau mengikuti jejak Febri-Syawaludin.

Agar fokus dan total, pasutri itu rela keluar dari pekerjaan tetap mereka. Febri keluar dari German International Cooperation atau GIZ yang berkantor di Lombok. Syawaludin keluar dari pekerjaannya sebagai staf ahli DPRD Provinsi NTB.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan