Bangkit dari Bangkrut, Joko Waluyo Mengenalkan Food Truck di Indonesia

Faktor keselamatan sangat penting karena akan berpengaruh pada reputasi food truck. Joko membuat analogi, bila salah satu restoran di sebuah mal terbakar, orang akan tetap pergi ke mal dan mengunjungi restoran lain. ”Tapi, kalau food truck kita yang terbakar, apa iya orang masih percaya untuk makan di food truck?”

Joko memilih makanan luar negeri sebagai menu untuk food truck miliknya. Alasannya sederhana. Bila berjualan makanan Indonesia, hampir pasti dia akan kalah dengan warung atau restoran yang sudah punya tempat permanen. Selain itu, dalam hal penyajian, dia harus berkejaran dengan waktu.

Joko menyebutkan, umumnya food truck menjual makanan sekunder. Yakni, makanan yang tidak setiap hari dikonsumsi. ”Orang beli, lalu mungkin seminggu kemudian baru beli lagi,” terangnya.

Khusus untuk makanan yang dijual, dia sudah menyesuaikannya dengan lidah orang Indonesia. Misalnya, dalam hal rasa pedas. Orang Indonesia lebih suka pedasnya cabai daripada merica atau paprika.

Makanan yang dijual Joko meliputi makanan dari AS dan Meksiko seperti taco dan burrito. Sebab, dia hanya bisa memasak makanan jenis itu. Belum lama ini dia mulai mencoba membuat menu makanan asal Vietnam, tapi belum di-launching, masih dipromosikan.

Dia mengingatkan, food truck juga memiliki keterbatasan. Dalam sehari, jumlah porsi terbanyak yang bisa dibawa satu food truck hanya 150 porsi. Itu untuk food truck berukuran besar. ”Kalau Gran Max, bisa 70 porsi,” tutur Joko yang mengaku pernah melayani 700 porsi dan membuat food truck-nya overload.

Harga makanan juga harus diperhitungkan. Tidak boleh terlalu mahal bila tidak ingin ditinggal pembeli. Misalnya, tempat Joko berjualan saat ini, kampus Universitas Indonesia. Maka, dia mesti menyesuaikan dengan kantong mahasiswa dengan harga Rp 15 ribu-Rp 25 ribu per porsi. ”Kalau mahal-mahal, bangkrut lagi deh,” tandas ketua Komunitas Food Truck Jakarta (KFJ) itu. (*/c5/ari/rie)

Tinggalkan Balasan