Dokter Candora A. Tambunan, Komit Melayani dalam Keterbatasan

Semakin ke timur, kondisi jalan semakin memprihatinkan. Yang dilalui bukan hanya tak beraspal. Jalanan pun terbuat dari tanah. Genangan air yang lebar pun menjadi biasa saking banyaknya. Jalan hanya selebar mobil. Keluar sungai, masuk di kawasan hutan. Kemudian daerah permukiman. Lalu kembali masuk sungai dan hutan lagi.

Tibalah rombongan ke Kali Bobot. Dari sungai-sungai sebelumnya, ini adalah yang terbesar. Etok tidak langsung menyeberang sungai. Dia berputar-putar di pinggir sungai. Sesekali matanya memandang arah hulu. Sebenarnya ada perahu kecil untuk menyeberang. Namun hanya bisa digunakan untuk menyeberangkan orang.

”Gunung tidak gelap. Kita aman,” ucapnya. Dia seperti memilih sungai paling dangkal. Dia pun memacu mobil. ”Saya pernah mengemudikan mobil dan akhirnya hanyut ke laut. Penumpangnya selamat,” imbuhnya setelah melalui sungai.

Setelah enam jam perjalanan darat menuju Werinama, akhirnya rombongan tiba di depan rumah dinas Puskesmas Werinama. Etok yang merupakan pasien langganan Candora mengantarkan sampai di depan rumah. Kala itu Candora sedang mengasuh program dokter kecil di sekolah. Lima belas menit kemudian, Dora -sapaan akrabnya- datang.

”Dokter kecil untuk mengenalkan soal kesehatan kepada anak-anak. Harapannya, menumbuhkan pengetahuan soal kesehatan,” tutur alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) itu.

Sudah tiga tahun putri Pontas Tambunan dan Humara Napitumulu tersebut menjadi dokter pegawai tidak tetap (PTT) di Werinama. ”Saya memperpanjang PTT karena belum puas dengan program untuk masyarakat di sini,” ucapnya. Meski serba terbatas, dia tetap berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

Setelah mengucap sumpah dokter pada 2013, Dora bertekad mengabdi di daerah yang jauh dari Medan. Seram dipilih karena kuota PTT-nya paling banyak. Selain ingin mengabdi, dia ingin mengetahui sisi lain Indonesia. Jadi, Dora sengaja memilih daerah yang terpencil.

Awalnya Dora tidak bilang kepada kedua orang tuanya mendaftar PTT di SBT. ”Setelah diterima baru bilang dan orang tua langsung membeli peta,” ceritanya. Orang tuanya tidak menyangka daerah yang dipilih anaknya ada di pulau kecil di Indonesia Timur. ”Mama hanya komentar, kok pulaunya kecil,” ucapnya.

Tinggalkan Balasan