Dokter Candora A. Tambunan, Komit Melayani dalam Keterbatasan

Dora tak menyangka pilihannya benar-benar jauh dan membutuhkan nyali besar untuk ke sana. Begitu sampai Werinama, dia kaget lantaran listrik hanya ada saat malam. Pukul 06.00 hingga 18.00, jangan harap ada setrum. Belum lagi soal jalan desa yang belum diaspal. ”Pertama saya ke sini, banyak jembatan yang belum jadi,” kenangnya.

Untuk menghibur orang tuanya, Dora selalu menceritakan hal yang menarik. Dia tidak bercerita soal sayuran yang sulit didapat atau beratnya medan untuk menuju tempat tersebut. Kali pertama ke Werinama, dia harus menempuh 17 jam dari Medan. Dua jam perjalanan dari Medan ke Ambon. Kemudian, jarak dari Ambon ke Bula, ibu kota SBT, harus ditempuh dalam waktu 11 jam perjalanan laut dan darat.

Dora harus naik speedboat lantaran belum ada jembatan antara Bula dan Werinama. Bula berada di sisi utara, sedangkan Werinama di selatan. Dia pun dihajar ombak selama tiga jam. Di Puskesmas Werinama dia mengabdi. Dora merasakan bagaimana menjadi dokter yang tidak hanya mengobati, tapi juga memberikan pengetahuan soal kesehatan.

Apalagi, tidak ada guru atau senior yang bisa meng-cover jika terdapat kesulitan. ”Saya harus sering-sering buka buku untuk mencocokkan gejala klinis beberapa penyakit,”  ucap perempuan yang hobi merajut itu.

Banyak pengalaman yang tidak bisa dilupakannya. Salah satunya ketika menangani anak dengan diagnosis tuberkulosis (TB) paru-paru. Dora memberikan perhatian khusus. Dia pantau rutinitas minum obatnya hingga akhirnya pasien TB tersebut sembuh. ”Orang tuanya tanya bagaimana biayanya. Saya bilang gratis. Lalu mereka terima kasih sampai mau menangis,” katanya. Hal seperti itulah yang menguatkannya untuk memperpanjang PTT.

Pengalaman lainnya, Dora pernah mendapatkan pasien usia delapan bulan yang mengalami berak darah. Pasien itu juga mengalami muntah berkali-kali. Beberapa pemeriksaan dilakukannya. ”Ini bukan disentri,” duganya waktu itu. Dora yakin ada masalah pada usus bayi tersebut. ”Harus segera dirujuk ke Ambon,” tuturnya kepada keluarga.

Namun, keluarga mereka menolak. Sebab, keluarga bayi telanjur memotong sapi untuk acara potong rambut si anak. Dora berupaya kembali menjelaskan bagaimana risiko yang harus dihadapi kalau tidak dirujuk segera. Untung, ada salah seorang keluarga yang menengahi. Akhirnya bayi delapan bulan itu dirujuk ke Ambon. ”Saya senang karena bayi itu selamat,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan