Tidak ada sedikit pun keraguan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi besar di ASEAN maupun global pada masa mendatang. ”Artinya, kita harus selalu memberikan harapan kepada tempat yang sulit. Sebab, di sana adalah tempat yang punya banyak mimpi. Kalau mereka punya kesempatan untuk berkembang, akan digunakan dengan baik,” ujar Harry.
Peluang serta dibukanya akses dan harapan di tempat yang saat ini masih sulit itu akan dimanfaatkan secara maksimal mulai dari oleh individu, keluarga, komunitas, kota, dan pada akhirnya menjadi energi positif bagi negara. ”Tidak ada yang mustahil,” pesan dia. Pada kondisi itu, terciptalah yang dimaksud Harry sebagai satu kesatuan seperti filosofi semut tersebut.
Dia pun berharap setiap kepala daerah di Indonesia menjadi pemasar. Mereka mesti mempromosikan daerah masing-masing untuk menarik minat investasi. ”Jadi, kita sangat optimistis. Karena dengan penduduk keempat terbesar di dunia, kekuatan domestik kita jadi andalan GDP (produk domestik bruto, Red) kita,” ucapnya.
Capaian pada 2008, ketika Indonesia mampu melewati krisis keuangan global akibat gagalnya kredit perumahan berkualitas rendah di AS, menurut Harry, belum bisa dijadikan tolok ukur sesungguhnya. Sebab, pembenahan industri finansial baru tuntas pada 2004, pascakrisis moneter 1998.
Pada 2006, kredit properti baru benar-benar mulai dibuka sehingga belum terlalu terbebani risiko seperti rasio kredit bermasalah (NPL) di perbankan. ”Saat kejadian 2008, kita masih bersih dari NPL. Itu membuat fundamental properti dan negara kita solid. Ibarat seorang yang baru sembuh dari sakit, imunnya masih kuat,” lanjut dia.
Siklus sepuluh tahunan akan jatuh pada 2018. Diharapkan, fundamen Indonesia benar-benar sudah lebih kuat lagi. Pembangunan infrastruktur yang gencar diharapkan bisa menjadi kekuatan tersendiri jika perkiraan buruk itu terjadi lagi.
Hanya, ada salah satu persoalan yang dirasa masih mengganjal saat ini. Yaitu, suku bunga masih tinggi sehingga landing cost juga masih mahal. Menurut Harry, tidak perlu takut menurunkan bunga sejauh inflasi masih lebih rendah. Sebab, dengan rendahnya bunga, berbagai sektor kembali bergairah. Terurama properti dan otomotif. Dua sektor itu saja sangat padat karya dan melibatkan begitu banyak tenaga kerja dengan efek industri turunan yang sangat besar. (gen/c11/sof/rie)