T.P. Rachmat tentang Iklim Bisnis dan Fondasi Ekonomi

Yang Terburuk Sudah Berakhir

Turbulensi perekonomian global yang merontokkan harga-harga komoditas membuat perlambatan ekonomi Indonesia dalam empat tahun terakhir kian parah. Namun, tak perlu gundah dan gelisah. Pada 2016 ini, ekonomi diproyeksikan kembali bergairah.

PROYEKSI itu muncul dari buah pemikiran dan analisis Theodore Permadi (T.P.) Rachmat yang pernah menjadi salah satu chief executive officer (CEO) tersukses di Astra International. Dia kini memimpin Triputra Investindo Arya (Triputra Group), kerajaan bisnis di sektor manufaktur, pertambangan, agrobisnis, dealership motor, logistik, hingga karet olahan yang dirintisnya sejak 1998.

Jawa Pos (induk Bandung Ekspres) berbincang dengan Rachmat sepanjang satu jam di kantor Triputra Group di Menara Kadin, Kuningan, Jakarta, 17 Desember lalu

Sosok yang berkali-kali dinobatkan sebagai CEO terbaik di berbagai ajang penghargaan itu terus menyuarakan optimismenya meskipun ekonomi Indonesia didera pelemahan dalam beberapa tahun terakhir.

Rupanya, begawan bisnis kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 15 Desember 1943, itu memang tak menyisakan satu lembar pun bagi pesimisme untuk menyusup dalam kamus hidupnya. ”The worst is already over (yang terburuk sudah berakhir, Red),” ujarnya dengan mantap saat mengomentari tren perlambatan ekonomi Indonesia.

Di awal perbincangan, pebisnis yang akrab disapa Teddy itu menguraikan refleksi singkat perekonomian global dan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Kisahnya dimulai pada 2008, ketika krisis subprime mortgage atau kredit berisiko tinggi di sektor properti Amerika Serikat (AS) menjalar cepat bagai kanker ganas yang merontokkan kedigdayaan ekonomi Negeri Paman Sam, lalu menular cepat melalui instrumen pasar finansial ke Eropa dan berbagai belahan dunia lain. ”Ketika itu ekonomi Indonesia sempat kena demam sedikit,” kata keponakan pendiri Grup Astra, William Soeryadjaya, tersebut.

Untung, meriang ekonomi Indonesia segera reda karena datangnya obat dari Tiongkok. Teddy menyebutkan, saat itu raksasa ekonomi Asia yang tengah bangkit tersebut tak ingin tertular krisis ekonomi global. Langkah strategis pun diambil pemerintah Tiongkok dengan menggenjot investasi besar-besaran agar bisa terus menyerap tenaga kerja. Karena itu, Tiongkok pun menjelma ”naga lapar” yang menyedot berbagai komoditas, baik pertambangan maupun perkebunan. ”Itulah pemicu commodity boom (booming komoditas, Red) yang menjadi motor ekonomi Indonesia sejak 2009,” jelasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan