Terapkan Pola Menjadi ”Mata–Mata”

Dalam terminologi jurnalistik, yang dilakukan Wenri itu mungkin bisa disebut sebagai ”jurnalisme partisipatif”. Seperti jurnalisme partisipatif yang bisa melahirkan tulisan-tulisan yang hidup, ”penelusuran partisipatif” ala Wenri juga bisa menghasilkan temuan-temuan segar dan mengejutkan.

Bagi pengasuh rubrik Historiana di situs JPNN.com (Bandung Ekspres Group) itu, di hadapan penulisan sejarah negeri ini yang masih dipenuhi banyak ruang gelap, kegigihan dalam pengungkapan fakta seperti itu sangat penting. Itu dilakukan agar semua sisi yang selama ini tenggelam dan tidak diingat bisa muncul lagi ke permukaan.

Misalnya saat dia menulis Jejak Intel Jepang. Buku tersebut terinspirasi sepenggal informasi saat meriset untuk buku Pasukan M. Yakni tentang granat yang dimiliki pasukan tersebut.

Yang memasok granat itu ternyata seorang intel asal Jepang yang bernama Arif Tomegoro Yoshizumi. ”Dia ini kepala intel Jepang dan tangan kanan Laksamana Maeda. Tomegoro ini pula yang mengatur acara penyusunan teks proklamasi,” ujarnya.

Meski Tomegoro memiliki peran begitu besar, ternyata tak mudah mendapatkan informasi soal dia. Mungkin karena posisinya sebagai intel yang memang mengharuskannya selalu bergerak di balik layar.

”Saya coba hubungi beberapa kawan yang tinggal di Australia, siapa tahu ada informasi di perpustakaan nasional di sana. Sebab, Arif Tomegoro pernah tertangkap pasukan sekutu di Palembang dan dikirim ke kamp tahanan di Australia,” terangnya.

Hasilnya cukup mengejutkan. Wenri mendapatkan beberapa lembar informasi soal intel asal Jepang tersebut. Dari informasi itu juga, dia mengetahui bahwa ada sebuah monumen di sekitar Tokyo Tower, Jepang, yang memuat puisi dari Soekarno, presiden pertama RI. ”Dalam puisi itu, Soekarno ternyata menyebut nama Tomegoro,” tuturnya.

Kegigihan Wenri dalam upaya turut merasakan langsung denyut peristiwa sejarah juga dibuktikan dalam penelusurannya ke sebuah rumah di Jalan Cikini, Jakarta. Rumah milik pahlawan nasional Achmad Soebardjo itu pernah didatangi Tomegoro.

Peneliti sejarah lain mungkin sudah akan puas jika sudah bisa menemukan atau sekadar berkunjung ke rumah tersebut. Tapi, tidak demikian Wenri. Dia ingin masuk, berbincang dengan sang pemilik, dan ”menggeledah” isi rumah.

Tinggalkan Balasan