[tie_list type=”minus”]Wacana Kota Musik Tak Relevan[/tie_list]
SUMUR BANDUNG – Rencana Pemerintah Kota Bandung, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang mengagendakan Bandung sebagai kota musik di tahun 2016, dilontarkan Kepala Bidang Pemasaran Disbudpar Kota Bandung, Kenny Dewi Kaniasari di sela ’Bandung Menjawab’ terkait Light Festival 2015, kemarin.
Menurut Kenny, konsep tersebut diilhami oleh kesuksesan Bandung Culinary dalam dua terakhir juga gagasan merangkum berbagai even agar terpusat pada satu kegiatan. ’’Bandung memiliki empat even besar setiap tahun. Dengan dikonsep secara benar. Even-even yang diajukan EO akan terkelola dengan baik dan menjadi rangkaian kegiatan tahunan yang tak terputus,’’ tukas Kenny.
Di samping itu, diharapkan even berskala besar akan mampu mengundang wisatawan mancanegara dan nusantara. Sehingga kreativitas dan inovasi pemangku kepentingan akan tersalurkan dengan baik serta mendorong daya saing ekonomi secara berkelanjutan.
Namun wacana itu mendapat tentangan dari Ketua Komisi D DPRD Kota Bandung Achmad Nugraha. Dia menilai menjadikan Bandung sebagai kota musik tanpa mengangkat budaya tradisional adalah langkah keliru.
Pasalnya, yang dibutuhkan kota Bandung saat ini adalah keberadaan gedung kesenian yang mampu jembatani kepentingan seniman lokal dalam merefleksikan seni tradisionalnya.
Untuk itu, kata Amet-sapaan akrab politisi PDI Perjuangan ini, Pemkot Bandung lebih serius mengangkat seni tradisional sesuai dengan Perda Nomor 15 tahun 2012 tentang pelestarian seni tradisional. ’’Menjadikan Bandung kota musik. Harus jelas. Musik apa? Sebab kalau musik kontemporer di Bandung sudah banyak di tempat-tempat hiburan,’’ tukas Amet.
Sejauh ini dalam penglihatan legislator, sangat minim upaya pemkot mengangkat musik-musik tradisional. ’’Pemkot kurang serius dalam mengangkat tatanan budaya tradisi dan adat istiadat daerah. Lebih jauh menjaga nilai-nilai jati diri anak bangsa,’’ pungkas Amet. (edy/vil)