Peduli Lingkungan Jawa Barat (Pelija) mewanti-wanti untuk memasang alat AQMS pada setiap zonasi kewilayahan. Pasalnya untuk kota besar seperti Bandung, dirinya menilai, perlu pemantauan yang khusus, mengingat mobilitas masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi utama.
Direktur Eksekutif Pelija MQ Iswara menjelaskan, letak geografis Bandung yang memiliki lempeng cekung, membuat sirkulasi udara, berupa polutan dan karbondioksida sulit terhempas ke kawasan lain. ’’Baiknya zonasi, bukan berupa unit lagi. Kalau Bandung kan udah kota besar jadi perlu pemantauan khusus,’’ terang dia.
Mengenai adanya zonasi, Iswara menjelaskan, perlu untuk dipenuhi. Pasalnya, hal tersebut akan membantu masyarakat menjaga dirinya dari kawasan polutan. Misalnya Jalan BKR, Asia Afrika, Cicadas dan beberapa kawasan industri lain, yang perlu dipasang dan dipantau.
’’Karena Kota Bandung berada di kawasan cekungan dikelilingi gunung. Seperti Gunung Papandayan, Manglayang, otomatis udara di dalam cekungan sulit untuk bergerak ke kawasan lainnya,’’ kata dia kepada Bandung Ekspres.
Mengenai kadar polutan, Kota Bandung masih berada di ambang batas juga kategori aman. Namun, melihat kota yang semakin padat dengan manusia serta pertambahan kendaraan yang begitu meningkat, Bandung perlu berbenah dan menambah RTH yang jumlahnya masih 11 persen. Iswara menjelaskan, kadar 30 persen RTH merupakan ambang batas ideal untuk mengantisipasi polusi ringan dari kendaraan dalam lingkup kota.
’’Kadar polutan masih dalam ambang batas, belum sampai ambang batas bahaya, memang normal tapi limit. Kalau melihat pertambahan jumlahnya sistem transportasinya banyak pribadi daripada massal, nantinya kalau dibiarkan kadar karbondioksida, karbon monoksida, dan beberapa jensi lain akan memenuhi udara untuk dihisap, akhirnya polutan Bandung akan jauh lebih tinggi dibandingkan kota lain,’’ ujar dia. (fie/vil)