Malam itu jalan begitu lengang, senyap dan gelap. Untuk melewati pos pemeriksaan, kendaraan harus berjalan zig-zag. Berjejer bergantian. Di depan, saya melihat para personel paramiliter membentak dan memeriksa dengan ketat truk pikap 4 x 4 yang memang diidentikkan sebagai mobil rakyat.
Ketegangan menyeruak. Jika sampai ketahuan ada orang asing keluyuran di daerah rawan malam-malam, persoalan pelik bisa timbul. Saat kaca jendela dibuka, senyum semburat langsung menyambut. ”Pord phan phækh -silakan lewat, Pak,” kata seorang paramiliter dengan sopan. Saya melongo.
”Untung kita memakai mobil sedan ini. Mereka mengira kita adalah pegawai kerajaan (pegawai negeri, Red). Tak usahlah tegang, rileks sikit, hahaha,” ujar Tuwaedaniya.
Hidup di daerah konflik, sulit untuk menjadi abu-abu. Semua dipaksa untuk menjadi hitam dan putih. Dengan memakai mobil yang disangka pegawai kerajaan, risiko juga ada: bisa saja kami disergap gerilyawan. ”Dulu serangan memang berjalan acak. Tapi, sekarang sudah tidak ada. BRN lebih sering serang checkpoint,” ucap Tuwaedaniya menenangkan.
Ketika melewati beberapa checkpoint yang dijaga kelompok paramiliter, yang kerap menarik perhatian Jawa Pos adalah gelagat paramiliter yang mendekat. Saya sering melihat senjata M-16 A1 yang dipakai dalam keadaan ”safe” atau terkunci.
Padahal, semestinya mereka bersikap waspada. Tapi, tak pernah ada yang tahu mengapa mereka sedikit teledor seperti itu. Wajar kalau kemudian gerilyawan selalu menganggap paramiliter ini sebagai sasaran paling empuk untuk disergap.
Selain itu, pengalaman tempur paramiliter teramat minim. Hanya tiga bulan dilatih, mereka langsung dilepas ke daerah konflik. Tak mengherankan jika 60 persen personel keamanan yang tewas sejak 2004 adalah kelompok paramiliter.
Saat membunuh keluarga Chikmud, serangan dilakukan secara serampangan. Dengan jarak tembak yang dekat, hanya 10 meter, kelompok paramiliter itu membabi buta menembak. Saya menghitung, setidaknya ada 200 lubang bekas tembakan yang menempel di papan kayu. Berat selongsong yang dikumpulkan mencapai 2 kilogram.
Mahmud (nama samaran), eks kombatan lapangan BRN, mengaku, ketika kontak tembak terjadi, personel paramiliter akan selalu dijadikan tameng garda terdepan. Baru polisi dan tentara menguntit dari belakang.