Ada 200 Lubang Bekas Tembakan di Rumah Chikmud

Chikmud disangka bagian dari pejuang BRN (Barisan Revolusi Nasional), sebuah gerakan bersenjata, yang jadi garda terdepan menuntut Pattani merdeka. ”Tapi, saya sudah dinyatakan bersih oleh mahkamah (pengadilan, Red). Saya tak terlibat,” tegasnya.

Kasus penembakan keluarga Chikmud itu lantas ramai disorot media asing dan menjadi isu besar di Thailand. Bahkan, di YouTube bisa ditemukan video berjudul Belukar Perak Tragedy.

Bangkok pun lantas angkat bicara. Mayor Jenderal Polisi Pattanawut Angkanawin menuding pelakunya adalah BRN. Siapa kira, selang beberapa minggu kemudian, dua personel paramiliter pemerintah Thailand menyerahkan diri.

Mereka mengaku sebagai pelaku tragedi Belukar Perak tersebut. ”Tak ada investigasi lebih lanjut. Keduanya dibebaskan dengan jaminan mahkamah,” kata Tuwaedaniya Tuwaemaengae, salah seorang aktivis di Pattani yang juga direktur Lembaga Patani Raya.

Banyak pembunuhan serampangan yang dilakukan kepada penduduk sipil oleh paramiliter alias laskar sipil yang dipersenjatai tersebut. Mereka bukan polisi. Bukan pula tentara.

Di Thailand, mereka disebut Thahan Phran. Mereka merupakan penduduk sipil yang menjadi sukarelawan untuk menjaga keamanan di tiga provinsi yang bergejolak di Thailand Selatan, yakni Pattani, Narathiwat, dan Yala. Konflik serupa meletup di sebagian Provinsi Songkhla. Komando kendali laskar sipil tersebut berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, bukan angkatan bersenjata.

Perdamaian bagaikan enggan bersemayam di Thailand Selatan. Konflik bersenjata di sana berlangsung sejak 1948. Dari awalnya dipicu perbedaan kultur dan latar belakang sosial agama, konflik berkembang semakin kompleks sejak 2001. Kelompok gerilyawan menuduh Bangkok menganaktirikan Thailand Selatan sehingga secara umum tertinggal dalam perekonomian.

Dalam sejarahnya, Pattani (Patani dalam bahasa Melayu, Red), Yala, dan Narathiwat dulu merupakan wilayah Kesultanan Patani. Wilayah kesultanan Melayu tersebut juga termasuk Kelantan yang kini masuk Malaysia. Kecuali Kelantan, Kerajaan Siam lantas menduduki kawasan tersebut sejak 1785 setelah menang perang.

Upaya perdamaian bukannya tidak pernah ada. Pada era kepemimpinan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva (6 Agustus 2011-8 Desember 2013), misalnya, Menteri Luar Negeri Kasit Piromya sempat optimistis bisa mengakhiri konflik bersenjata di Thailand Selatan. Tapi, ketegangan ternyata justru membesar dan rezim Abhisit akhirnya angkat tangan.

Tinggalkan Balasan