Pemerintah dan DPR Saling Lempar Tanggungjawab

Dia juga menegaskan, kalau pemerintah tidak bisa ikut masuk dalam penyusunan draf revisi yang merupakan inisiatif DPR tersebut. Kekhawatiran sejumlah pihak kalau draf berisi agenda-agenda pelemahan terhadap KPK, hanya bisa disambut saat nanti sudah sampai dalam proses pembahasan bersama DPR dengan pemerintah.

’’Nanti kalau (draf revisi UU KPK) dari DPR sudah masuk presiden, nanti baru presiden kirim menteri membahas bersama DPR, di situ baru kita berdebat,’’ bebernya.

Khusus soal penyadapan, secara pribadi, lebih setuju dikuatkan atau dilemahkan, Yasonna hanya menyatakan, kalau yang penting harus ada pengaturan terkait hal tersebut. Kebutuhan tersebut, menurut dia, juga berkaca dari banyak negara-negara lain. ’’Di Hongkong, di mana-mana, dalam menetapkan penyadapan harus ada aturan. Ada yang melalui hakim, ada yang melalui tim apa gitu,’’ katanya.

 Tanpa dengan menyatakan akan lebih membatasi kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK nantinya, dia menambahkan, kalau aksi tersebut memang tidak bisa dilakukan semaunya. Ada hak individual dan hak asasi yang juga harus jadi perhatian. ’’Seperti apa modelnya nanti kita sepakati. Tapi, jangan belum-belum sudah apriori. Aku di posisi menunggu,’’ tandas Yasonna.

Senada, Mensesneg Pratikno menegaskan kalau pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa atas rencana revisi UU KPK. Pasalnya, revisi UU tersebut masuk sebagai inisiatif DPR. Presiden, menurut dia, juga tidak memiliki niatan untuk melakukan revisi UU KPK. ’’Yang ada sekarang terjadi itu kan inisiatif DPR,’’ tutur Pratikno, juga saat ditemui di komplek Istana Kepresidenan, kemarin.

Pada kesempatan tersebut, dia juga belum mau menjanjikan kalau pemerintah akan memasukkan poin-poin yang justru akan menguatkan. Misalnya, terkait pandangan sejumlah pihak tentang perlunya hak imunitas terhadap pimpinan KPK. ’’Ya, belum tahu, namanya tidak ada rencana melakukan revisi UU (KPK),’’ elaknya.

Wakil ketua badan legislastif (baleg) DPR Firman Soebagyo membantah pernyataan Yasonna. Menurut Firman, justru pemerintah yang awalnya mengajukan revisi UU no 30 tahun 2002 itu. ’’Kami ada buktinya. Jangan mencla-mencle,’’ jelasnya.

Politikus Golkar itu menjelaskan, pada saat rapat baleg itu, Yasonna mengajukan tiga RUU tambahan dari pemerintah. Yaitu RUU Bea Materai, RUU Terorisme dan RUU revisi UU KPK. Saat itu sempat terjadi perdebatan antara baleg dan Yasonna. Pasalnya, dari 10 RUU yang diajukan pemerintah belum ada yang rampung. Nah, jika mengajukan RUU baru maka akan 37 program legislasi nasional tahun 2015 tidak akan selesai. ’’Namun, dia ngotot bisa menyelesaikan. Mereka mengatakan bisa menyiapkan draft-nya. Oke kami sepakati,’’ jelasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan