Seni Budaya Daerah Terpinggirkan

Melihat kucuran APBD yang besar untuk keragaman budaya daerah, tidak terlalu salah bila keterlibatan lingkung seni, sanggar seni atau paguron pencak silat, digupay (diajak) dengan tatakrama kesundaan. Tahun ini (APBD 2015), di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung, memperoleh kucuran anggaran tidak kurang dari Rp 6 miliar. Sebagian dari dana itu, yakni Rp 4 miliar, dialokasikan untuk kegiatan pengembangan kesenian dan kebudayaan daerah.

Namun, melihat program yang diangkat, sepertinya lebih banyak diarahkan pada penyelenggaraan pentas seni di ruang publik dan pertunjukan. ’’Sembilan puluh pagelaran dan enam kali di luar Kota Bandung, sebagai pengembangan dan pemanfaatan seni budaya tradisional,” kata Yusup Supardi.

Sementara itu, dalam memfasilitasi legalitas lingkung seni, penyelenggaraan festival budaya daerah yang menelan biaya hampir Rp 850 juta, tidak terlalu jelas progresnya. Sebab, dalam pandangan politisi PPP ini, kegiatan itu hanya bermain di tataran permukaan. ’’Ruh seni budaya daerah bukan sekedar penampilan. Tetapi bagaimana mencintainya menjadi karakter bangsa melalui budayanya,” tegas dia.

Program lainnya, seperti Ujungberung Festival, Alimpaido (kaluinan budak lembur), Hajat Lembur Pasanggrahan, Pasanggiri Reog, Calung, Pencak Silat dan Wayang Golek serta partisipasi Kota Bandung pada festival kemilau nusantara dan alimpaido di tingkat provinsi, secara konsep bagus. ’’Tetapi seperti saya katakan tadi jelas Yusuf, dampak yang bisa dirasakan penggiat seni budaya akankan merata? Kita lihat saja hasilnya,’’ ujar dia.

Terpisah, Pegiat Pencak Silat dari Paguron Gagak Lumayung Heri Heryawan menilai, sentuhan pemerintah terhadap seni pencak silat saat ini sangat kurang. ’’Bandingkan dengan jaman Walikota Aa Tarmana, pasanggiri pencak silat, bisa digelar di lingkungan Balai Kota Bandung. Dari kepemimpinan Dada Rosada sampai Ridwan Kamil, saya belum mendengar gagasan itu muncul,” katanya saat ditemui Bandung Ekspres di kediamannya, kawasan Cisaranten Kulon, belum lama ini.

Bandingkan, lanjut dia, Rebo Nyunda yang identik dengan pakaian jawara atau inohong pencak silat. Celana pangsi dengan iketnya, biasanya dulu pakaian khas paguron pencak silat dengan istilah Jagabaya atau Jagastru. ’’Ini memang cukup ironis dengan penghargaan terhadap para inohong pencak silat. Kita dulu akrab dengan para inohong itu. Tapi kini mencari alamat paguron saja begitu sulit,” imbuhnya. (mg10/tam)  

Tinggalkan Balasan