Sentil Kisruh Kepolisian Melalui Tarian
SUMUR BANDUNG – Banyak cara untuk menyampaikan aspirasi terhadap keberlangsungan sebuah pemerintahan. Melalui aksi-aksi pergerakan, audiensi langsung atau teatrikal budaya. Termasuk, ritual Lokat Mala, Ngalokat Pulisi Tidur yang dilakukan oleh para seniman Bandung.
Kegiatan ini dimulai dari ngalokat pulisi tidur di Jalan Babakan Ciamis (Samping Gedung Indonesia Menggungat) kemarin (3/2). Dilanjutkan dengan melarung sesajian di Sungai Cikapundung. Langsung melakukan tarian teatrikal di sungai.
Menurut Abah Nanu, ritual ngalokat pulisi tidur itu merupakan bentuk ungkapan keprihatinan seniman pada kondisi pemerintahan yang sedang memanas. Mereka menilai, lembaga yang memiliki jargon sebagai pengayom itu tercoreng kewibawaannya oleh satu kepentingan. Yakni, menyeret pada derajat mala, artinya menodai adi cita lembaga.
Maka, seniman melakukan ruwatan untuk kembali menyucikan lembaga itu dari mala. Tujuan suci itu bisa dilihat dari sikap yang dimiliki oleh polisi tidur. ”Mereka tidak memiliki keinginan apapun,” tuturnya.
Berbeda dengan manusia yang memiliki keinginan tertentu. Sehingga, keinginan itu tidak terbendung dan tidak dapat dikendalikan. Melalui ngalokat pulisi tidur, pihaknya ingin menunjukan bahwa institusi polisi itu seharusnya sama dengan polisi tidur.
Nanu mengungkapkan, polisi tidur walaupun setiap waktu diinjak, dilangkahi atau digilas tetap selalu menjaga keselamatan orang. Namun, tidak pernah mengeluh, menentang dan meminta dalam bentuk apapun. ”Dia tidur tetapi batinnya bangun demi keselamatan umat,” ucapnya.
Ritual yang dilakukan merupakan salah satu cara mendoakan institusi polisi bekerja sesuai dengan tugasnya. Yakni, menjaga amanah untuk lebih meningkatkan keselamatan, keamanan dan kenyamanan. Selain, mengukuhkan bahwa polisi adalah intansi hukum seharusnya menjadi tauladan.
Upacara yang dilakukan itu bukan untuk menyakralkan sebuah benda. Namun, memberi makna pada apa yang dilakukan menjadi lebih luhur. Tujuannya, agar nilai yang luhur itu teraplikasi secara utuh dalam seluruh aspek kehidupan.
Ditanya tentang sesajian yang dibuat, Nanu mengatakan, hal itu adalah media penyampaian pesan secara simbolik. Pesan tercermin dari berbagai jenis tanaman yang digunakan. ”Seperti bunga yang menimbulkan wangi,” tuturnya.
Sementara itu, senada yang diungkapkan oleh Abah Nanu, Tisna Sanjaya mengatakan, melihat kondisi lembaga hukum, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus bersikap jernih. Seharusnya, dalam mengambil sebuah kebijakan harus belajar dari tradisi yang sudah ada. Tidak berlandaskan kepentingan orang-orang tertentu. (mg2/tam)