’’Ada pasukan dari DBMP, menjaga trotoar dan dipasangi batu dan tanah,’’ jelasnya.
Sementara itu para difabel yang tergabung dalam BILiC meminta diikutsertakan dalam pembangunan jalur tersebut. Pasalnya, ada berbagai karakteristik dan desain yang harus disesuaikan. Seperti, bentuk yang mengartikan sesuatu. Namun, BILiC mengapresiasi pemerintah yang akhirnya memenuhi kebutuhan para disabilitas tuna netra.
’’Bentuknya itu ada dua jenis ada yang lurus dan ada yang bulet–bulet. Fungsinya untuk membantu teman-teman yang kurang dalam fungsi penglihatan,’’ jelas Direktur Utama BILiC Aden kemarin (21/1).
Perhatian dalam bentuk kode di setiap bentuk guiding block dapat membantu penyandang disabilitas dalam berjalan. Supaya peringatan seperti di depan ada tiang listrik, belokan, tanjakan, turunan dan lain-lain sudah bisa diantisipasi sebelumnya dari jarak yang cukup jauh. ’’Kalau yang bulet itu perhatian. Misalnya, didepannya ada belokan, ada perempatan, ada turunan, ada tiang, ada tanjakan. Ada pintu gerbang kantor apa rumah di trotoar,’’ jelas dia.
Untuk menciptakan Bandung yang ramah bagi semua warga, Aden ingin Bandung menggunakan konsep universal desain. Menurut dia, ketinggian trotoar juga harus ideal. ’’Kalau di persimpangan atau gerbang depan kantor, kan itu ada pudunan (turunan). Sudut kelandaian itu ada teknisnya. Dua sampai lima derajat,’’ jelas dia.
Ketinggian trotoar itu juga berfungsi untuk memudahkan lansia, ibu hamil dan anak-anak yang berjalan di pedestrian. Namun, dalam pembuatan guiding block ini, Ade bersikukuh bahwa penyandang disabilitas harus diikutsertakan. ’’Jangan sampai ada kesalahan seperti yang ada di Jalan Pajajaran,’’ kata dia. (fie/tam)