SARA Bayangi Pilkada 2018

jabarekspres.com, JAKARTA – Pelaksanaan Pilkada 2018 yang sudah ada di hadapan mata terancam makin dibanjiri isu-isu bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Gejolak politik di pilgub DKI Jakarta diyakini berdampak banyak terhadap pola-pola pemenangan yang dilakukan elite-elite di daerah.

Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menyatakan, praktik menyeret sentimen agama ke kancah politik di pilkada DKI sudah sangat telanjang. Bukan hanya masyarakat ibu kota, semua masyarakat di Indonesia juga ikut merasakan dampaknya. ”Ini menjadi ancaman nyata untuk kondisi politik kita di Pilkada 2018,” ujar Ray kemarin.

Apalagi, lanjut dia, putusan hakim yang menyatakan Ahok bersalah menambah legitimasi untuk digunakannya ayat suci dalam politik. ”Kesannya boleh untuk mengalahkan lawannya. Kalau lawannya membalas dengan bahasa agak kasar, lawannya bisa disanksi, jadi boleh,” imbuhnya.

Padahal, lanjut dia, dalam aturan kampanye, sejatinya permasalahan SARA menjadi salah satu isu yang haram untuk disampaikan. Karena itu, dia mendorong adanya ketegasan dalam penegakan hukum agar tradisi penggunaan politik identitas tidak menjadi kebiasaan.

Peneliti Maarif Institute Abdullah Darraz tak menampik bahwa persoalan SARA berpotensi marak pada pilkada mendatang. Berdasar penelitiannya, dalam waktu dekat, 60 persen masyarakat Indonesia masih menjadikan identitas sebagai prevalensi dalam memilih.

Nah, di tengah mental elite politik yang masih culas, kondisi tersebut tentu akan dimanfaatkan untuk kepentingannya dalam kontestasi. ”Jadi, nanti milih bukan soal kebijakan atau program. Afiliasi agama akan jadi pertimbangan. Kebinekaan masih jadi problem,” ujarnya.

Meski tidak melanggar secara konstitusi, Darraz menilai kondisi itu tidaklah baik bagi kemajemukan di masyarakat. Menurut dia, publik harus diajari hidup berdemokrasi dengan menggunakan nalar rasional. Bukan semata-mata menggunakan persamaan identitas.

Untuk tidak memperkeruh suasana, Darraz berharap pendidikan terkait dengan kesetaraan antarkelompok, suku, dan agama di Indonesia dikampanyekan.

Peneliti Relawan Nusantara Sulaiman Haekal menilai, selain isu SARA, pasal-pasal karet menjadi ancaman. Pelaporan dengan kasus-kasus yang sumir sangat mungkin dilakukan untuk mendegradasi elektabilitas lawan politik. (far/c19/agm/rie)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan