Saat Pemuda Menikahi Janda 67 Tahun di Madiun

Perkara hati kadang memang di luar logika. Apalagi jika cinta sudah meraja, jarak usia hanyalah soal fana. Inilah sepenggal kisah perjalanan hidup Rokim, perjaka 24 tahun, yang mempersunting Tampi, janda 67 tahun.

CHOIRUN NAFIA, Madiun

RANGKAIAN janur melengkung masih menghiasi halaman salah satu rumah di Dusun Petung, Desa Nampu, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, kemarin (21/3). Nyiur muda yang mulai layu itu tetap lengkap dengan dua tandan pisang beserta jantungnya.

Itulah rumah pengantin baru Rokim dan Tampi. Rumah tersebut masih ramai. Para kerabat tengah bercengkerama di ruang tamu sembari menonton televisi. ”Baru sepasar (sepekan, Red) kami menikah,” ungkap Rokim dengan santai saat ditemui Radar Madiun kemarin. Mereka berdua menikah Rabu pekan lalu (15/3).

Pernikahan pemuda kelahiran Nganjuk, 10 Juli 1993, itu memang tak biasa. Sebab, mempelai perempuannya adalah Tampi, janda kelahiran Madiun pada 18 Januari 1950. Usia mereka terpaut 43 tahun.

Namun, perbedaan usia tak mengurangi kemesraan pengantin baru itu. Kemarin Rokim duduk dengan tangan merangkul istrinya. Pandangan matanya hangat saat melirik Tampi yang tak jarang menepuk-nepuk lengannya. ”Anak-anak kampung sini sering menggoda, wah manten anyar… manten anyar (pengantin baru, Red),” kata Rokim, lantas tertawa.

Jika ada yang percaya dengan cinta pada pandangan pertama, Rokim adalah salah satunya. Pria asal Nganjuk itu mengaku menaruh hati kepada Tampi sejak kali pertama bertemu sepuluh tahun lalu. Awalnya, dia hanya bermain ke rumah temannya sesama pekerja bangunan di Surabaya yang kebetulan satu desa dengan Tampi yang berprofesi sebagai tukang pijat.

Untuk meredakan lelah, Rokim diantar oleh temannya ke rumah Tampi yang kala itu masih berusia 57 tahun. ”Pertama kali bertemu langsung suka. Yang ada di pikiran saya, suatu saat akan saya nikahi dia,’’ tutur dia, bersemangat.

Setelah dipijat, layaknya ABG yang sedang PDKT (alias pendekatan), Rokim dan Tampi bertukar nomor handphone. Dari situ, benih-benih cinta mulai tumbuh. SMS dan telepon menjadi penyubur benih-benih cinta itu. Rokim mengaku bahwa dirinyalah yang lebih sering menelepon Tampi. Rasa lelah setelah seharian bekerja keras sebagai kuli bangunan pun langsung sirna saat mendengar suara pujaan hatinya. ”Tidak setiap hari memang. Tapi, saya selalu sempatkan untuk menelepon,” ucap Rokim.

Tinggalkan Balasan