Sumpah "Sehat” Pemuda 6.0

Lagu Perjuangan
Pemuda dan pemudi membawakan lagu-lagu perjuangan dan lagu daerah saat peringatan Sumpah Pemuda ke-97 yang digelar di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (28/10/2025). Peringatan Sumpah Pemuda PDI Perjuangan tahun ini mengusung tema “Suara Muda: Yang Muda Yang Bersuara,” yang menjadi wadah dialog kebangsaan bagi anak muda lintas kampus dan komunitas untuk mengekspresikan pandangan serta gagasan mereka tentang masa depan Indonesia. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/bar
0 Komentar

Masalahnya, kita masih sering memanggil generasi muda “lemah mental”, alih-alih mengakui bahwa lingkungan hidup mereka memang toksik. Kita masih menganggap lelah sebagai kegagalan moral, bukan sinyal biologis bahwa tubuh memang butuh intervensi sistemik. Kita memuja “kerja keras” seolah tubuh bukan jaringan rapuh. Dari sudut pandang sel, hustle culture adalah simulasi penuaan dini.

Karena itu, refleksi 28 Oktober seharusnya tidak berhenti pada baliho persatuan. Persatuan yang sehat harus diwujudkan dalam kebijakan kesehatan publik yang pro-pemuda: bukan seminar motivasi, tetapi klinik ramah remaja dan dewasa muda — ruang aman yang tidak menghakimi, tempat mereka bisa bicara tentang kecemasan, nyeri fisik akibat kerja digital, atau rasa bersalah karena ingin istirahat.

Sekolah dan kampus juga perlu memperbarui cara mereka memandang tubuh civitas akademika. Pemeriksaan kesehatan tak cukup sekadar tinggi badan dan tekanan darah. Intervensi dini jauh lebih murah dibanding memperbaiki kerusakan kronis. Skrining kesehatan mental dan edukasi tidur atau nutrisi berbasis konteks ekonomi lokal bisa mencegah masalah besar di kemudian hari. Ini bukan fasilitas mewah, tapi infrastruktur dasar bagi bangsa produktif.

Baca Juga:Menko PMK: Stunting dan TBC jadi Permasalahan Mendasar KesehatanWapres Ikut Cek Kesehatan Gratis di Puskesmas Menteng

Di tingkat nasional, Sumpah Pemuda bisa dibaca sebagai “vaksin kebangsaan”. Vaksin pertama disuntikkan pada 28 Oktober 1928; peringatannya tiap tahun adalah booster memori kolektif. Tanpa booster, imun nasional melemah: bangsa mudah lelah, mudah benci, dan kehilangan makna perjuangan.

Tentu, ancaman hari ini tidak sama persis dengan ancaman 1928. Sekarang, kita menghadapi dua tipe penyakit besar, yakni autoimun sosial — ketika masyarakat menyerang dirinya sendiri lewat intoleransi, radikalisme, korupsi, dan ketidakadilan struktural. Untuk melawannya, kita butuh imunoterapi kebangsaan: memperkuat sistem pertahanan etika dan integritas bangsa.

Dalam onkologi modern, imunoterapi melatih tubuh mengenali dan menghancurkan sel kanker secara spesifik. Versi kebangsaannya, kita perlu melepas “rem” terhadap kritik sehat — memberi ruang bagi media jujur, akademisi kritis, dan penegak hukum bersih untuk bekerja tanpa dibungkam.

Seperti terapi CAR-T Cell yang merekayasa sel T agar mengenali kanker, pendidikan karakter harus membentuk “reseptor etika” generasi muda: integritas, keberanian menolak korupsi, dan budaya malu saat menyakiti sesama. Setelah “diinfuskan kembali” ke masyarakat, mereka berfungsi sebagai sel T anti-kanker sosial bangsa.

0 Komentar