Kemiskinan di Kota Metropolitan, Bandung Masih Dihantui Ketimpangan

Kemiskinan di Kota Metropolitan, Bandung Masih Dihantui Ketimpangan
Seorang tuna wisma tidur di atas jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jalan Merdeka Kota Bandung, Jumat (24/10). Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Di tengah geliat ekonomi, modernisasi, dan pertumbuhan kawasan baru, Kota Bandung masih menyimpan potret kemiskinan yang kerap luput dari pandangan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga Maret 2024, angka kemiskinan Kota Bandung mencapai 3,87 persen atau setara sekitar 101.100 jiwa dari total penduduk.

Sekilas, angka tersebut tampak menggembirakan. Bahkan, Bandung menjadi salah satu kota dengan tingkat kemiskinan terendah di Jawa Barat, lebih baik dari rata-rata kemiskinan provinsi yang mencapai 7,2 persen, maupun rata-rata nasional sebesar 9,03 persen.

Baca Juga:Pemain Andalan Cedera Jelang El Clasico, Hansi Flick Harus Putar Otak!Alasan Thom Haye Menghilang saat Persib Tekuk Selangor FC di ACL 2

Namun di balik catatan itu, muncul persoalan lain yang tak kalah serius: tingginya ketimpangan dan kemiskinan semu di tengah kota metropolitan.

BPS mencatat garis kemiskinan Bandung berada di angka Rp614.707 per kapita per bulan. Artinya, warga yang berpenghasilan di bawah angka tersebut masuk kategori miskin.

Tapi di kota dengan biaya hidup yang tinggi seperti Bandung, batas itu kerap dianggap terlalu rendah untuk menggambarkan kondisi riil masyarakat.

“Secara angka memang rendah, tapi tidak serta merta mencerminkan kesejahteraan. Banyak warga yang hidup pas-pasan di sektor informal, namun tak terhitung sebagai miskin,” ujar Yogi Prasetya, dosen ekonomi UPI, saat dihubungi, Jumat (24/10).

Yogi menilai, banyak warga Bandung bekerja sebagai pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, dan buruh harian dengan pendapatan yang tidak stabil.

“Mereka mungkin berpenghasilan di atas garis kemiskinan, tapi kalau ada krisis kecil, harga naik, sewa naik, mereka langsung jatuh miskin lagi,” ujarnya.

Kawasan seperti Babakan Ciparay, Cicadas, dan Tamansari menjadi cermin kontradiksi Bandung hari ini. Di satu sisi, kafe, hotel, dan pusat belanja tumbuh cepat; di sisi lain, gang-gang sempit di kawasan padat masih dipenuhi rumah-rumah semi permanen tanpa sanitasi layak.

Baca Juga:Akhirnya Rizky Ridho Akui Bikin Kesalahan Fatal di Laga Timnas Indonesia vs IrakVirgil van Dijk Minta Liverpool Tak Berpuas Diri!

Beberapa warga bahkan harus menyisihkan lebih dari setengah penghasilan hanya untuk sewa kamar kos atau kontrakan kecil.

“Gaji suami Rp2 juta, bayar kontrakan Rp900 ribu. Sisanya buat makan sama anak sekolah,” kata Lilis (37), warga Cicadas, yang ditemui sedang menjemur pakaian di depan rumah kontrakannya.

0 Komentar