JABAR EKSPRES – Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa, setelah ratusan tahun dijajah Belanda, bahasa mereka tidak pernah menjadi bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia? Jejak kolonial Belanda masih jelas terlihat hingga kini, mulai dari gedung-gedung tua, stasiun kereta, hingga kanal di kota-kota besar. Namun, bahasa Belanda justru tidak melekat dalam kehidupan masyarakat.
Jika dibandingkan dengan bekas koloni Inggris seperti India dan Malaysia, yang penduduknya fasih berbahasa Inggris, atau negara-negara Amerika Latin yang sebagian besar warganya menggunakan bahasa Spanyol sebagai warisan kolonial, Indonesia justru memiliki kisah berbeda. Bahasa Belanda tidak pernah menjadi bahasa percakapan di pasar, obrolan di rumah, ataupun bahasa yang hidup di hati rakyat.
Apakah hal ini semata-mata disebabkan oleh semangat nasionalisme yang kuat, atau ada alasan lain yang lebih kompleks, tersembunyi di balik kebijakan politik dan sosial kolonial? Untuk memahaminya, kita perlu meninjau lebih dalam strategi Belanda selama menjajah, bukan sekadar menghitung lamanya mereka berkuasa.
Baca Juga:Pengalaman Menggunakan MyBCA, Apakah Lebih Baik dari BCA Mobile?10 Fakta Mengkhawatirkan Game Roblox yang Perlu Diketahui Orang Tua
Penyebab Bahasa Belanda Tidak Dipakai di Indonesia
Sejak awal, cara Belanda menguasai Nusantara memang berbeda. Sebelum wilayah ini resmi menjadi koloni, Indonesia dikelola oleh sebuah perusahaan dagang besar bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Meski bukan negara, VOC memiliki kekuasaan administratif dan militer layaknya pemerintahan di daerah-daerah yang mereka kuasai. Tujuan utama mereka bukanlah menyebarkan budaya atau agama, melainkan meraih keuntungan sebesar-besarnya dari perdagangan rempah-rempah.
Karena fokusnya murni ekonomi, VOC memilih cara paling praktis untuk mempertahankan kekuasaan. Mengajarkan bahasa Belanda kepada jutaan penduduk dianggap terlalu mahal, rumit, serta berisiko membuka akses pengetahuan yang justru bisa melemahkan kendali mereka. Sebagai gantinya, VOC menggunakan bahasa Melayu, bahasa penghubung yang sejak abad ke-7 telah banyak digunakan di pelabuhan dan jalur perdagangan Asia Tenggara, termasuk Nusantara.
Bahasa Melayu relatif sederhana, mudah dipelajari, dan efektif sebagai sarana komunikasi antara pedagang, pejabat VOC, serta penguasa lokal. Pendekatan ini jelas berbeda dengan penjajah seperti Spanyol dan Portugis yang, selain berdagang, juga gencar menyebarkan agama serta budaya mereka. Dengan memilih bahasa Melayu, VOC mampu menghemat waktu, biaya, dan tenaga. Mereka tidak perlu membangun sekolah secara massal atau melatih seluruh pegawai agar mahir berbahasa Belanda.
