Antara Model Lokal dan Inspirasi Nasional
Dengan pencapaian yang terus dibicarakan media, Panca Waluya telah menarik perhatian sejumlah daerah. Beberapa kepala daerah dari Sumedang, Karawang, hingga Banten disebut telah berkonsultasi dengan Pemprov Jabar terkait kemungkinan mengadopsi model serupa, dengan penyesuaian pada karakter lokal masing-masing.
Namun, seperti dikatakan pengamat pendidikan karakter dari UPI Bandung, kunci keberhasilan model ini terletak pada kesinambungan dan kehadiran pemimpin yang terlibat langsung dalam proses (Wawancara, 24/6/2025).
Pendidikan karakter, jika hanya menjadi jargon atau proyek musiman, akan kehilangan daya transformatifnya. Ia harus ditanamkan sebagai budaya bersama—melibatkan sekolah, rumah, komunitas, media, bahkan industri digital yang kini menjadi ruang tumbuh anak muda. Sejumlah peneliti seperti Thomas Lickona dan Marvin Berkowitz telah lama mengingatkan bahwa karakter tidak dibentuk oleh teori semata, melainkan oleh konsistensi pengalaman hidup yang membentuk nilai dalam tindakan.
Baca Juga:Puluhan Tahun Menyapu Jalan, 93 Pahlawan Kebersihan Tersapu AdministrasiDorong Industri Hijau, Kemenperin Berikan Ruang Bagi Generasi Muda untuk Riset Sains Inovasi Ramah Lingkungan
Jawa Barat, melalui Panca Waluya, tengah menyusun fondasi penting: menciptakan model pendidikan karakter yang berbasis lokal, namun berjangkauan nasional. Nilai-nilai seperti cageur, bageur, bener, pinter, dan singer bukan hanya warisan lisan dari budaya Sunda, tapi kini menjadi blueprint pembinaan pelajar masa depan.
Catatan Akhir
Tentu, model barak militer bukan satu-satunya cara. Ia hanyalah alat—sementara pendidikan karakter adalah tujuan. Yang lebih penting adalah bagaimana seluruh komponen masyarakat—pemerintah, sekolah, guru, TNI, tokoh agama, dan masyarakat sipil—bersinergi dalam satu kesadaran: membentuk manusia utuh.
Jika itu terwujud, maka generasi baru yang tumbuh dari rahim Panca Waluya bukan hanya menjadi pelajar yang berprestasi, tetapi juga manusia yang kuat secara moral, dewasa dalam bersikap, dan siap membangun Indonesia dengan fondasi akhlak, bukan sekadar angka. (Bagian II/habis).
*) penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti tasawuf dan pendidikan sosial.
