JABAR EKSPRES – Kerusakan ornamen teratai di Tugu Adipura Kota Banjar yang dibiarkan berbulan-bulan akhirnya ditangani oleh Dinas Lingkungan Hidup setempat. Namun, langkah perbaikan ini baru dilakukan setelah muncul protes keras dari warga yang menilai kelalaian pemerintah mengganggu estetika kota.
Pembongkaran ornamen rusak tersebut menyingkap pertanyaan mendasar, mengapa pemerintah baru bergerak setelah dikritik, padahal Banjar telah tujuh kali menyabet penghargaan Adipura, termasuk pada 2023.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Banjar, Eri Kusuma Wardhana, mengakui keterlambatan penanganan dengan alasan klasik, yakni anggaran terbatas.
“Kami akan segera perbaiki dan mengusulkan anggaran di perubahan, sepaket dengan pembuatan tugu ikan bebeong dan perbaikan gapura selamat datang di Batulawang,” ujarnya, Rabu (9/4/2025).
BACA JUGA: Pariwisata Banjar Sulit Berkembang, Ini Saran Atet
Pernyataan ini justru memantik kritik. Jika anggaran menjadi kendala, mengapa perbaikan tugu simbolis hasil penghargaan lingkungan tidak diprioritaskan sejak awal? Apalagi, Tugu Adipura dibangun pada 2014 sebagai penanda kesuksesan Kota Banjar meraih Adipura sejak 2013-2018 dan 2023.
Ironisnya, tugu yang seharusnya menjadi kebanggaan justru terabaikan.
Warga menilai pemerintah lebih fokus pada pencitraan melalui penghargaan daripada merawat infrastruktur yang ada.
“Jika Adipura diraih berkali-kali, mengapa tugu penghargaannya malah dibiarkan rusak? Jangan-jangan penghargaan hanya jadi alat politik, bukan refleksi tata kelola lingkungan yang berkelanjutan,” ujar Andi Maulana, praktisi kebijakan publik.
BACA JUGA: Wisata di Banjar Minim Promosi, Fasilitas Jadi Penyebab Utama Lesunya Kunjungan Wisatawan
Polemik ini juga menyoroti lemahnya sistem perencanaan anggaran, masyarakat kini menuntut transparansi alokasi anggaran untuk perawatan aset publik, dan sejauh mana penghargaan Adipura benar-benar mencerminkan komitmen lingkungan, bukan sekadar pemanis laporan tahunan.
Jika tidak, Tugu Adipura yang akan diperbaiki ini hanya akan menjadi monumen pengingat kegagalan birokrasi mengubah piala menjadi aksi nyata.
“Pemerintah Kota Banjar perlu mengevaluasi alokasi anggaran dan prioritas pembangunan. Penghargaan Adipura harus dibarengi dengan keseriusan merawat simbol dan substansi lingkungan, bukan hanya mengejar piala untuk citra. Jika tidak, prestasi itu hanya akan jadi satire atas tata kelola yang abai,” katanya. (CEP)