Menjaga Aksara Ilahi: Perjalanan Percetakan Al-Qur’an Braille di Bandung

Pekerja memproduksi lembaran Al Quran Braille sedang di Percetakan Yayasan Penyantun Wyata Guna, Kota Bandung, beberapa waktu lalu. Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
Pekerja memproduksi lembaran Al Quran Braille sedang di Percetakan Yayasan Penyantun Wyata Guna, Kota Bandung, beberapa waktu lalu. Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
0 Komentar

Di sebuah ruangan yang dipenuhi rak berisi buku-buku tebal dengan lembaran timbul, seorang pria berjanggut putih berdiri di depan mesin cetak tua. Tangannya meraba halaman-halaman kertas tebal, memastikan setiap huruf Braille tercetak sempurna.

Muhamad Nizar, Jabar Ekspres.

Inilah pemandangan sehari-hari di Percetakan Yayasan Penyantun Wyata Guna, Bandung, salah satu tempat yang masih aktif mencetak Al-Qur’an Braille bagi tunanetra Muslim di Indonesia. Sejak tahun 1976, yayasan ini berkomitmen menyediakan mushaf bagi mereka yang tak dapat membaca Al-Qur’an dalam bentuk cetakan biasa.

Dari situ, tim di Wyata Guna berinisiatif mencetak mushaf dengan kertas yang lebih nyaman. Namun, perbedaan antara versi Braille Bandung dan Jogja memunculkan perdebatan.

Baca Juga:Tingkatkan Pengawasan Alat Ukur SPBU, Pemkot sebut Masyarakat bisa Lapor Kecurangan Lewat Scan BarcodeDukung Evaluasi Proyek PT Jaswita di Puncak Bogor, Komisi IV: Bila Perlu Tutup!

Setelah proses panjang, akhirnya disepakati bahwa standar Al-Qur’an Braille harus mengacu pada pedoman Kementerian Agama. Namun, produksi tetap terkendala. Biaya tinggi dan ketersediaan kertas khusus menjadi tantangan utama.

“Kami akhirnya bermusyawarah, saya bilang kita cari jalan tengah. Kalau simbol yang kita pakai menyulitkan teman-teman tunanetra, kita ganti. Yang penting, mereka bisa membaca dengan nyaman,” ujarnya.

0 Komentar