Mengenang Pramoedya di Halte Landraad: Tari, Mesin Tik, dan Kesetiaan

Di bawah naungan pepohonan yang rindang, tepat di Halte Landraad, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, sekelompok seniman dari Komunitas Mataholang menampilkan sebuah pertunjukan tari yang sarat makna.

Muhamad Nizar, Jabar Ekspres.

Aksi tersebut digelar pada Jumat (14/2) untuk memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan besar yang tak hanya menuliskan kisah, tetapi juga menyuarakan perlawanan.

Di meja kecil yang penuh buku tua, seorang pria berkacamata duduk dengan pakaian sederhana. Di depannya, sebuah mesin tik hijau beradu dengan jemarinya, menciptakan kembali bayangan Pram dalam ruang kerjanya.

Secangkir kopi dan sebungkus rokok melengkapi suasana yang akrab dengan sosok yang dikenal tak henti menulis. Seorang perempuan dalam balutan gaun bermotif bunga berdiri di sampingnya, jemarinya lembut menyentuh pigura berisi sketsa Pramoedya yang terpajang di hadapannya.

Dalam keheningan, ia mendekatkan wajahnya ke gambar itu, seolah hendak berbisik atau meresapi semangat sang sastrawan. Aksi teatrikal ini tak sekadar pertunjukan.

BACA JUGA: Target Tanam Padi di Bandung Barat Tak Tercapai, Ini Penyebabnya!

Gatot Gunawan, seniman tari dari Komunitas Mataholang, menjelaskan bahwa pemilihan lokasi di depan Gedung Indonesia Menggugat bukanlah kebetulan. Gedung itu memiliki makna sejarah, bukan hanya bagi bangsa, tetapi juga bagi Pram sendiri.

Pada tahun 2003, Pramoedya pernah berkunjung ke Bandung, menggembleng para pemuda dengan pemikirannya yang tajam dan berani. Halte ini, kata Gatot, juga melambangkan kesetiaan Maemunah, istri Pramoedya, yang setia menunggu sang suami selama bertahun-tahun saat ia dipenjara.

“Ini kami dari Komunitas Mataholang memperingati satu abad Pram. Februari 2025 menjadi momentum tepat untuk menghidupkan kembali terutama nilai spirit Pram,” ujar Gatot kepada Jabar Ekspres.

Dalam salah satu adegan, perempuan yang memerankan Maemunah tiba-tiba berontak, selembar kertas yang remuk terjebak di mulutnya. Sang pria berusaha menahan, seolah melawan kekuatan yang ingin membungkam.

Adegan itu menyiratkan kegelisahan, ketidakberdayaan, tetapi juga perlawanan yang tak pernah padam. Gatot menuturkan, bagian ini merepresentasikan kesetiaan dan penderitaan sosok perempuan yang mendampingi perlawanan dengan caranya sendiri.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan