“Adapun penyebab kelelahan pengemudi adalah kurangnya waktu mereka untuk beristirahat,” jelasnya.
Rata-rata pengemudi truk tidak paham betapa pentingnga uji kompetensi, sehingga banyak dari mereka yang tak diikut sertakan oleh perusahaan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan atau diklat mengemudi sesuai jenis kendaraan yang digunakan operasional.
Djoko memaparkan, para pengemudi truk memperoleh SIM (Surat Izin Mengemudi) tanpa melalui diklat dan jadinya mereka tidak mengantongi STTPP (Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan).
“Penghasilan pengemudi juga sebulan rata-rata Rp1 sampai Rp4 juta per bulan, masih di bawah upah minimal di daerah. Ini perlu jadi perhatian serius,” paparnya.
Djoko mengaku, pihaknya sudah banyak memberikan masukan serta usulan ke instansi pemerintahan terkait, mengenai pentingnya kesejahteraan hingga regulasi bagi perusahaan agar memberikan prioritas dalam uji kompetensi pengemudi truk.
“Kita tunggu kebijakan selanjutnya dari Menteri Perhubungan, supaya angka kecelakaan menurun. Juga selalu dinanti ketegasan Presiden Prabowo Subianto mengatasi angkutan barang berdimensi dan bermuatan lebih (ODOL),” imbuhnya.
“Jika masih diabaikan, truk akan tetap menjadi pencabut nyawa di jalan. Bermobilitas di negeri yang tidak berkeselamatan akan menghambat cita-cita pemerintah mewujudkan menuju Indonesia Emas 2045,” pungkas Djoko. (Bas)