JABAR EKSPRES – Bakal Calon Wali Kota (Bacawalkot) Bogor, Raendi Reyendra atau dokter Reyendra tengah menjadi sorotan usai dikabarkan memiliki dua Kartu Tanda Anggota (KTA) partai politik yakni, PDI Perjuangan dan Golkar.
Informasi itu terkuak pasca kunjungan dokter Rayendra melawat kantor DPD Partai Golkar pada Minggu (18/8), dan disebut-sebut memiliki KTA Partai Golkar. Padahal sebelumnya pada Rabu (5/6), dokter Rayendra secara sukarela menyatakan bergabung menjadi kader PDI Perjuangan dan langsung menerima KTA hingga surat tugas sebagai calon Wali Kota Bogor dari PDI Perjuangan.
Hal itu bikin geram elite PDIP, salah satunya Sekretaris DPC PDIP Kota Bogor, Atty Somaddikarya. Dirinya menilai, langkah tersebut sebagai tindakan sepihak yang berpotensi menciptakan kesalahpahaman dengan tujuan menciptakan konflik antara dua partai besar.
Pihaknya menduga adanya upaya penyerobotan kader PDIP oleh Golkar tanpa konfirmasi resmi baik dari Golkar maupun calon wali kota yang bersangkutan.
Tindakan dokter Rayendra membuat KTA Golkar setelah memiliki KTA PDIP tanpa paksaan dinilai merupakan langkah yang kurang etis.
“Hal ini merupakan langkah yang kurang beretika, jangan pernah menggeser aturan main berpolitik apa lagi menabraknya tanpa berhitung dampak buruk atas hubungan yang sudah lama terjalin kompak antar partai, ada hal utama yang dijunjung tinggi secara terukur,” ungkapnya kepada wartawan dikutip Selasa (20/8).
Menurut Atty, sejatinya aturan main dalam berpolitik harus dijunjung tinggi dan tidak boleh dilanggar tanpa mempertimbangkan dampak buruk terhadap hubungan antar partai yang sudah terjalin kompak.
Sebab, sambung dia, aturan main dan kebijakan dalam partai politik berbeda-beda, seperti halnya di PDIP yang menegaskan syarat wajib, bagi siapapun yang ingin maju dengan tiket dari partai tersebut harus menjadi kader dan memiliki KTA.
BACA JUGA:Tb Ardi Januar Resmi Mengundurkan Diri dari Pilbup Bandung Barat, Ternyata Ini Penyebabnya!
“Kami sangat menyayangkan minimnya penghormatan terhadap etika berpolitik. Padahal seorang calon kepala daerah memiliki hak menentukan bendera politiknya sebagai warga negara, namun harus dilakukan dengan mempertimbangkan etika politik,” geramnya.