JABAR EKSPRES, BANDUNG – Berlabel kota metropolitan menyebabkan Kota Bandung dikelilingi segenap masalah. Jumlah penduduk yang terbilang hampir kolaps menyebabkan permasalahan yang terjadi sulit teratasi.
Menurut Pengamat Tata Kota, Frans Adi Prasetyo menuturkan, Bandung kini telah mengalami multifunction kota. Hal ini menyebabkan daya dukung ekologinya menjadi kacau.
“Jadi Bandung kini mulai mengalami multifunction kota. Akibat multifungsi, kota yang sprawl dan kacau menyebabkan daya dukung ekologisnya terbilang kolaps,” katanya lewat pesan tertulis, Selasa (20/2).
BACA JUGA : Kekhawatiran Bawaslu Kota Cimahi Terkait Penyimpanan Logistik Pemilu 2024 di Kecamatan Cimahi Selatan
Daya dukung ekologis yang kolaps tak sanggup mengikuti perkembangan yang terjadi di Kota Bandung. Hal ini menyebabkan ekosistem alami yang hancur, infrastruktur fisik menjadi lemah, dan sulitnya menuntaskan permasalah banjir maupun kemacetan yang terbilang sudah dalam kategori deadlock.
Dirinya pun menyoroti soal Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung yang menjadi pemantik akan terjadinya permasalahan tersebut.
Dari segi kemacetan, diakuinya, hal tersebut sulit dituntaskan akibat tak sebandingnya ruas jalan yang ada dengan kendaraan beserta jumlah penduduk di Kota Bandung.
“Kemacetan itu terjadi karena tidak pernah dibatasi pembelian kendaraan pribadi, dan tidak disediakan transportasi publiknya,” ujarnya
Masalah lain yakni pembangunan infrastruktur kota yang membebani kompaksi tanah dan ekologis yang menyebabkan wilayah-wilayah sekitar terancam.
Fakta terbaru berhasil dihimpun Jabar Ekspres, Megaproyek pembangunan skywalk Cihampelas yang menghabiskan anggaran sebesar Rp48 miliar ternyata memberikan pengaruh terhadap pergerakan Sesar Lembang.
Frans membenarkan, wilayah tersebut memang masuk ke dalam Kawasan Bandung Utara (KBU) yang juga berkontribusi apabila bencana dihasilkan oleh Patahan Lembang.
“Itu merupakan bagian dari KBU, pembangunan memberikan beban kompaksi tanah dan ekologis yang mengancam kawasan sekitar,” ungkapnya
Disisi lain, terkait banjir disebabkan oleh daya dukung serapan yang tak sebanding dengan infrastruktur dan pembangunan. Dilansir dari laman BPS Kota Bandung, Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Kembang hanya menyentuh angka 12,25 persen.
Mengacu pada Permen Agraria dan Tata Ruang No 14 Tahun 2022 mengenai RTH. Kota Bandung masih jauh dibawah standar ketetapan yakni 30 persen. Atas kondisi tersebut, dikatakannya, daerah resapan Kota Bandung hanya bisa menampung sebanyak 26 persen air hujan.