Kebakaran Hutan dan Lahan Melanda Jambi: 229 Hektar Terbakar, Monopoli Air Diduga Jadi Penyebab Utama

Akibatnya, lahan gambut di luar perusahaan menjadi kering dan rentan terbakar.

“Kami menyebut ini sebagai monopoli air. Kurangnya manajemen air menyebabkan lahan masyarakat menjadi kering saat musim kemarau,” ucap Dwi.

Dwi menekankan bahwa apabila ketinggian muka air di lahan gambut dijaga sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016, lahan tersebut akan sulit terbakar.

“Apabila ketinggian muka air gambut sesuai dengan peraturan tersebut, yaitu maksimal 40 sentimeter tanah di atas air tanah, dan tidak ada pengeringan, lahan gambut akan sulit terbakar. Kanal berfungsi untuk mengeluarkan air dari lahan gambut hingga 10 meter, sehingga air dalam gambut terkuras,” papar Dwi.

Tidak hanya melalui pembangunan kanal dan monopoli air, perusahaan juga melakukan penanaman tumbuhan monokultur, terutama kelapa sawit, yang tidak sesuai dengan ekosistem gambut dan menyebabkan kekeringan. Kegagalan dalam mengelola ini menjadi salah satu penyebab utama dari kebakaran hutan dan lahan yang dahsyat di Jambi pada tahun 2015 dan 2019.

Namun, menurut Dwi, pemerintah dan aparat penegak hukum hanya terfokus pada pelaku pembakaran lahan. Mereka tidak mengambil tindakan hukum terhadap perusahaan yang menjadi pemicu karhutla.

“Penegakan hukum yang diterapkan kurang optimal. Pemerintah dan aparat penegak hukum cenderung melihat pembakaran lahan sebagai tindakan individu. Mereka tidak memperhatikan proses lain, yakni pengeringan gambut,” tegas Dwi.

Walhi Jambi saat ini tengah mendorong pemerintah untuk meninjau kembali izin yang diberikan kepada 27 perusahaan tersebut, guna memulihkan ekosistem gambut yang terganggu.

“Dorongan kami kepada pemerintah adalah meninjau kembali izin yang diberikan kepada 27 perusahaan tersebut, agar pemulihan ekosistem gambut dapat dilakukan,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan