JABAR EKSPRES – Pembakaran salinan Alquran yang terjadi dalam demonstrasi di Stockholm, Swedia, pada Sabtu (21/1/2023) menjadi insiden kontroversial yang menyedot perhatian dunia. Dari kekacauan hingga kenapa banyak pembakaran alquran.
Ternyata tindakan tersebut merupakan bagian dari aksi protes terhadap Turki yang di anggap ‘menyetir’ Swedia dalam upaya bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO). Namun, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai kenapa banyak pembakaran alquran. Serta mengapa penodaan simbol keagamaan, khususnya terhadap Islam, terus terjadi di dunia barat.
Lalu apa yang menjadi alasan dari kekacauan ini hingga kenapa banyak pembakaran alquran? Akar kebencian barat terhadap Islam dapat di telusuri kembali hingga tahun 1980 ketika Revolusi Islam Iran meletus.
Revolusi ini mengusir Amerika Serikat (AS) dari Iran dan menyebabkan perasaan animosity terhadap Islam. Rentetan aksi terorisme global oleh aktivis Islam radikal pada akhir abad ke-20 semakin menyulut kebencian dan memicu persepsi negatif terhadap agama ini.
Puncaknya, peristiwa tragis 9/11 menjadi momen penting yang merubah pandangan Barat terhadap Islam. Agama ini di pandang sebagai ancaman homogen dan totaliter bagi peradaban Barat, sekaligus menyebabkan opini bahwa Islam secara umum adalah ancaman.
Baca Juga: Sejarah Hari Lahir Pancasila, Gen Z Wajib Tau!!
Fenomena ini di picu oleh fakta bahwa beberapa negara-negara Islam melibatkan diri dalam praktik penindasan terhadap warganya.
Namun, kritik terhadap agama bukanlah hal yang sepele. Kebebasan berpendapat adalah nilai penting, tetapi memerlukan batasan. Ketika kritik berlebihan hingga menodai simbol kesucian agama, hal itu bisa memicu protes dan bahkan kekerasan dari beberapa Muslim. Oleh karena itu, diskusi tentang batas-batas kebebasan berbicara, termasuk kritik terhadap kesucian agama, harus di hadirkan kembali dalam bingkai kebijaksanaan.
Menurut Profesor hukum dari University of Windsor, Richard Moon, mengartikan kritik terhadap agama dengan serius adalah sebuah kewajiban. Agama yang di anggap penting perlu di lihat dari berbagai klaimnya tentang kebenaran dan hak sebagai hal yang patut di pertimbangkan.
Namun, dalam melakukannya, kritik harus tetap terbuka dan obyektif. Perdebatan tentang agama, baik dari sisi spiritual maupun kewarganegaraan, bisa jadi intens dan tidak nyaman. Namun ini adalah bagian dari upaya memahami dan mendiskusikan perbedaan keyakinan secara sehat.