JABAR EKSPRES – Bulan Muharam atau di penanggalan jawa di sebut dengan Sasi Suro, menjadi bulan yang menakutkan bagi sebagian orang. Bahkan beredar mitos bahwa tidak boleh menikah atau menggelar hajat di bulan muharam atau Suro tersebut.
Alasan pelarangan atau tidak boleh menikah di bulan Muharam atau Suro ini karena dikhawatirkan akan membawa kesialan. Dan mitos ini sudah berkembang sejak puluhan tahun lamanya di sekitar wilayah Jawa.
Bukan hanya larangan menikah di Bulan Suro, bahkan ada satu malam yang sangat sakral hingga ada pantangan-pantangan yang diberlakukan pada malam tersebut. Larangan tersebut salah satunya tidak boleh keluar rumah pada malam pergantian tahun, yakni malam satu suro.
Ada mitos yang menyebutkan bahwa pada malam pergantian tahun tepatnya pukul 00:00 tersebut, pintu gerbang alam ghaib dibuka sehingga banyak mahluk ghaib yang berkeliaran.
BAca juga : Rayakan Tahun Baru Islam, Ini Amalan Sunah yang Disarankan Dilakukan di Bulan Muharram
Mitos-mitos ini banyak diyakini kebenarannya oleh orang-orang yang percaya kejawen, namun secara Islam, mitos-mitos ini banyak dibantah.
Hal ini karena Muharam merupakan bulan yang baik, yakni terjadinya pergantian tahun yang berdasarkan sejarahnya, merupakan momen penting pindahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah.
Hal ini menurut Ustad Adi Hidayat memiliki keutamaan yang luar biasa, sebagai hijrahnya manusia dari keburukan menuju kebaikan. Sehingga bila akan menikah dibulan ini diharapkan juga akan membawa banyak kebaikan dalam rumah tangganya kelak.
Baca juga : Menjelang Muharram, Ini Makna Pentingnya Menurut Ustadz Adi Hidayat
Hal ini sekaligus mematahkan mitos larangan menikah di bulan Suro atau Muharam, karena kesialan yang bagian dari takdir adalah merupakan Ketetapan Allah. Dan Ketetapan Allah selalu baik untuk hambanya.
Beranggapan sial atau thiyarah termasuk akidah jahiliyah. Dan hal ini sesungguhnya sudah ada sejak jaman Nabi Musa atau di masa sebelum Islam. Dimana Fir’aun selalu beranggapan bahwa Nabi Musa dan pengikutnya adalah pembawa Kesialan.
Ketika datang bencana mereka katakan itu gara-gara Musa. Namun ketika datang berbagai kebaikan, mereka katakana itu karena usaha kami sendiri, tanpa menyebut kenikmatan tersebut berasal dari Allah.