Dorong Perhutani Jabar Lakukan Pemetaan Kawasan Hutan Lindung

“Salah satu aktivitas yang signifikan mengakibatkan kerusakan dan pendangkalan pada Danau Ciharus adalah offroad motor trail,” lanjutnya.

Mang Pepep menjelaskan, berdasarkan informasi yang dicatat Wormser tahun 1928, di masa tersebut kawasan Danau Ciharus masih menjadi wilayah tertutup, bahkan disakralkan oleh masyarakat sekitar sebagai hutan larangan.

Hingga akhirnya pada awal tahun 2000, tempat tersebut mulai dikenal memiliki akses. Tiap akhir pekan, awalnya Ciharus ramai dikunjungi oleh para pendaki gunung, kemudian belakangan disusul oleh rombongan pemotor trail.

“Seperti kita tahu, Rancaupas itu identitasnya secara formal hutan lindung. Tapi secara ekologi orang-orang lihatnya Rancaupas itu hutan primer ada rawa-rawa juga,” ucapnya.

Mang Pepep menilai, ketika pandangan masyarakat hanya melihat hutan lindung sebagai area wisata karena tak pahamnya pemetaan, maka tak menutup kemungkinan seiring waktu hutan-hutan lindung tergerus keberadaannya oleh aktivitas manusia.

“Dominonya itu bisa dilegitimasi oleh masyarakat ke kawasan atau hutan-hutan lindung di daerah lain,” tukas Mang Pepep.

Sementara itu Ketua Dewan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, Dedi Kurniawan menegaskan, terkait pemetaan lahan kawasan hutan lindung, belum ada payung hukum yang saklek.

“Perhutani Jabar dalam pengelola kawasan, mereka menggunakan regulasi sendiri. Petak, anak petak. Bukan blok pemanfaatan, bukan blok perlindungan dan sebagainya,” tegasnya.

Dedi meminta, supaya Perhutani segera merubah regulasi sendiri tersebut. Sebab menurutnya, terkait pemetaan kawasan hutan seharusnya disamakan, baik oleh Perhutani Jabar juga oleh Aliansi Pecinta Alam Jabar termasuk masyarakat.

“Saya pikir ini genting sekali. Makanya Perhutani Jabar harus tegas menetapkan peta kawasan,” beber Dedi.

“Supaya masyarakat pun mengikuti itu, ketika ada yang melanggar disaat regulasinya ada berarti ada pelanggaran yang jelas di sana,” pungkasnya. (bas)

Tinggalkan Balasan