Enam Ritual Adat di Bandung Barat Diajukan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda

Jabarekspres – Enam tradisi ritual adat akan segera diusulkan oleh Dinas Parawisata dan Budaya (Disparbud) KBB menjadi warisan budaya tak benda kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)

Sebelumnya ada sebanyak lima Ritual Adat budaya tak benda telah didaftarkan oleh Disparbud KBB ke Kemendikbudristek dan telah ditetapkan menjadi warisan budaya yaitu Upacara Mikul Lodong, Upacara Ngmandian Ucing, Rahengan, Hajat Arwah, dan Palakiah Parengan Raga.

Saat ini Disparbud KBB sedang mengkaji enam ritual yang akan menjadi warisan budaya tak benda. Di antaranya, yaitu :

  1. Upacara Ngamandian Gong Sibeser, Kecamatan Cililin,2. Upacara Serepan Patalekan tradisi ngalantik pesilat padepokan panglipur pamager sari, Kecamatan Lembang. 3. Upacara Pamitan tradisi ngala baru kange coet, Kecamatan Padalarang, 4. Upacara Nyeungitan Seweu siwi, Kecamatan Ngamprah, Upacara raracik goib, kecamatan Lembang, dan 6. Upacara Puput puseur, kecamatan Cipatat.

Menaggapi hal ini, Kepala Seksi Bina Budaya pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat Hernandi Tismara mengatakan di Kabupaten Bandung Barat sendiri ada sebanyak 121 ritual yang perlu ditetapkan menjadi warisan budaya tak benda.

“Karena di Bandung Barat itu ada 121 ritual. Kalau di yang lain ada tarian dan lain-lainnya tapi kalau di KBB  ada ritual,” kata Hernandi saat dihubungi oleh Jabarekspres Sabtu, (23/12).

Menurutnya, warisan budaya tak benda agar ditetapkan oleh Kemendikbudristek melewati tiga tahapan.

“Warisan Budaya Tak Berbenda itu melewati tiga kali sidang, tingkat provinsi, dan tingkat kementerian dan yang lima itu udah ditetapkan oleh kementerian,” jelasnya.

Warisan benda tak berbudaya itu perlu diawali dengan penulisan jurnal ilmiah, kata Hernandi, yang muncul dari lembaga atau universitas seperti ISBI Bandung.

“Jadi untuk warisan tak berbudaya itu harus membuat jurnal ilmiah, jurnal ilmiah harus masuk ke lembaga atau universitas seperti misalnya ISBI Bandung,” ungkap Hernandi.

“Setelah ada jurnal harus ada filmnya dan lalu dipertanggung jawabkan di sidang tingkat provinsi atau kementerian. Nanti ada masukan atau koreksi untuk diperbaiki,” lanjutnya.

Hal itu dilakukan karena membicarakan keilmuan seperti antropologi (ilmu budaya), hermeneutika (tafsir), semiotika (ilmu tanda) dan keilmuan lainnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan