Isu hangat yang biasanya menyapa benak kita setiap masuk September adalah yang terkait dengan peristiwa G30S/PKI.
Peristiwa tragis itu ditandai dengan adanya penculikan dan pembunuhan para petinggi Angkatan Darat. Dan jika kita ditanya pernik-pernik apa saja yang ada dari peristiwa itu tentu banyak jawabannya.
Sebut saja misalnya : Letkol Untung (komandan gerakan yang menginisiasi penculikan), Lubang Buaya (desa/wilayah di daerah Jakarta Timur sebagai posko penculikan).
Lantas masih ada lagi yang terkait dengan nomenklaktur atau unit organisasi misalnya dewan revolusi, dewan jenderal dan lain sebagainya.
Nah, pada September tahun ini muncul istilah baru yang terkesan “menempel” dengan peristiwa G30S/PKI.
Istilah itu adalah “dewan kolonel” yang konon muncul dari para pendukung Ketua DPR/Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang merupakan desakan agar ketum PDIP segera mendeklarasikan Puan sebagai capres dari PDIP.
Kemudian muncul pula “dewan kopral” yang mendukung Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai capres.
Baik dewan kolonel maupun kopral keberadaannya dibantah oleh para petinggi PDIP, termasuk juga fungsinya.
Adanya idiom duo dewan tadi menunjukkan bahwa persaingan pilpres 2024 mendatang (bakal) sangat sengit.
Paling tidak indikatornya dari partai yang sama saja terdapat dua calon kandidat yang tentunya punya pendukung masing-masing.
Masih beruntung jika parpol yang bersangkutan punya sesuatu sebagai perekat yang bisa menghindari perpecahan internal (misal PDIP dengan ketumnya).
Jika tidak ada, bukan mustahil bisa jadi bibit perpecahan internal.
Bagaimana kemungkinan arah pilpres 2024 mendatang, apakah masih gaduh seperti pada pilpres 2019? Tentu masih susah ditebak mengingat belum jelas bakal berapa pasangan yang akan maju.
Sejauh ini baru Nasdem yang sudah mendeklarasikan capresnya. Dan Nasdem -yang dalam Pemilu 2019 mendapat 10,26%-, masih harus berkoaliasi dengan parpol lain untuk memenuhi limit 20% dari jumlah kursi DPR, sebagaimana ketentuan dalam UU Pemilu.
Prediksi penulis, sampai dengan akhir tahun ini belum ada lagi parpol yang akan mendeklarasikan capresnya, sekalipun dengan “status single” seperti pendeklarasian Anies Baswedan yang tanpa cawapres.