Jabarekspres.com – Tahun 1970, job hopping, atau pindah kerja, biasa disamakan dengan gelandangan atau di sebut “Sindrom Hobo” oleh psikologi industri.
Waktu dulu orang-orang percaya bahwa sebaiknya pekerjaan itu harus menetap di satu perusahaan atau setidaknya beberapa tahun. Tapi kini, lebih sering pindah kerja ternyata dapat mempercepat kemajuan jenjang karier seseorang.
Seorang pemasar digital dari London, dalam 18 bulan terakhir, telah berpindah tempat kerja sebanyak tiga kali.
Di setiap posisi barunya, ia bekerja dengan klien profil tinggi juga memperoleh pengalaman lebih banyak. Gajinya juga meningkat dalam waktu singkat.
“Saya tidak akan berada di posisi saya sekarang kecuali saya terus berganti pekerjaan.” -Anna, 29 tahun-
Tetapi, sisi lain berpindah pekerjaan selalu muncul banyak stigma, terutama dari manajer perekrutan yang lebih tua dan lebih senior.
Selain itu, kebiasaan ini telah menerima reputasi buruk di banyak tempat; dari kalangan perekrut hingga tingkat pimpinan.
Namun, stereotip ini mungkin sudah ketinggalan zaman.
Dalam pasar tenaga kerja yang ketat dan lingkungan di mana perusahaan menunjukkan semakin sedikit loyalitas kepada pekerja, banyak dari mereka yang melompat-lompat tempat kerja justru menikmati hasilnya.
Bagi generasi yang lalu, kontrak kerja adalah tanda syarat bahwa perusahaaan akan menghargai loyalitas dengan peningkatan jabatan dan upah. Setelahnya, pemahaman ini tergoyahkan tahun 1980.
“Lebih banyak pekerja mulai merasa mudah tersingkirkan, dan pekerjaan mereka dapat hilang kapan saja.”
Pada 1990-an, sebuah mentalitas baru telah berkembang: job hopping (berpindah-pindah tempat kerja).
Bagaimana pendapatmu tentang kebiasaan pindah kerja ini?