Fenomena Manusia Silver, dari Ajang Atraksi Hingga Eksploitasi

Fenomena manusia silver, kata Devie, di seluruh dunia juga ada. Di Indonesia, hal ini menjadi bagian dari aksi meniru atau mencontoh orang dewasa.

“Anak-anak hanya meniru orang dewasa dengan mencari uang di jalanan, lalu lakukan aktivitas seni menari dengan menghiasi tubuhnya dengan warna-warna tertentu, sebagai bagian atraksi untuk dapatkan perhatian dari publik,” jelas Devie.

Berbeda ketika anak-anak mengecat tubuhnya karena untuk beratraksi di panggung sekolah dalam rangka pertunjukan seni. Akan tetapi ketika anak sudah disuruh mencari uang dengan mendandani dirinya sebagai manusia silver, Devie menilai itu adalah wujud eksploitasi.

“Membekali anak dengan kehidupan berkesenian itu baik sekali selama tidak dalam rangka eksploitasi ekonomi atau melanggar hak-hak anak,” tegasnya.

Bagaimana jika sudah terlanjur nyaman di jalan?

“Namanya anak itu harus dikendalikan. Anak belum mampu memiliki keputusan. Anak tak dalam rangka mengambil keputusan, karena anak sedang bertumbuh secara mental fisik psikologis belum sempurna, harus didampingi orang tua,” tegas Devie.

Solusinya, kata dia, tunjukkan kasih kepada anak bukan berarti memanjakan anak atau bukan mengeksploitasi anak atas nama alasan apapun. Dan ketika anak bermasalah bukan menghukum tapi merangkul mereka.

“Kalau dalam rangka kasih sayang, ya kita berikan, jangan cari di jalanan. Negara sudah berikan mekanisme sekolah gratis, itu tinggal disosialisasikan lebih lanjut sehingga tak ada anak kehilangan haknya untuk belajar dan masa tumbuh kembang sempurna sebagai anak,” tutup Devie. (jawapos-red)

Tinggalkan Balasan