“Kok begitu saja (dikosongkan), kita selama ini yang bayar pajak segala macam, dan perbaikan rumah. Semua sendiri,” ucap seorang warga, Erry Pudjiastuti, 72, kepada Jabar Ekspres, kemarin.

“Kalau memang ini rumah (PT) KAI, harusnya, kan, ini KAI yang bayar. Bukan kita,” imbuhnya.

Situasi mencekam, benar-benar digambarkan olehnya. Para petugas memang berusaha masuk. Amat memaksa. Terbilang buru-buru dan cenderung rusuh. Pintu rumah sempat dicongkel memakai linggis dan ditendang.

“Sampai adik yang punya penyakit jantung, hingga pingsan,” ceritanya.

Akan tetapi, dari seluruh kekhawatiran yang dimilikinya. Erry mengkhawatirkan situasi sang suami. Setahun terakhir, katanya, sang suami didera sakit. Sulit berjalan sampai harus memakai tongkat.

“Itu yang menurut saya mereka (petugas) tidak manusiawi. (Suami) didorong-dorong seenaknya,” katanya. “(Petugas) sambil berkata: ini dia (suaminya) pura-pura pakai tongkat.”

“Sedih banget, Nak. Bukan apa-apa. Enggak ada kemanusiaan sama sekali mereka,” ujarnya hampir terisak.

Tak berhenti di sana, dia menuturkan, sang cucu yang berusia 9 tahunan, berteriak ketakutan saat belasan orang asing berusaha merangsek masuk.

“Cucu ibu sampai histeris dan lemes. kan, sedih. Perempuan. (Apalagi) melihat bundanya, kayak gitu. Sedih saya,” tuturnya dengan nada bergetar.

Dia mengungkapkan, tanah yang ditempati merupakan warisan dari almarhum sang ayah. Erry sendiri merupakan generasi kedua. Setelah sebelumnya rumah ditinggali ayah dan keluarganya.

“Kereta Api, waktu itu memohon pada dinas perumahan. Menempatkan pegawainya. Waktu itu bapak kami pejabat. Jadi kami dapat rumah sendiri,” ungkapnya.

Dia pun merasa sedih, sepeninggalan ayahnya, Erry tidak mampu mempertahankan hak mereka. “Yang sakit itu, kayak enggak bisa nurutin permintaan bapak almarhum. Enggak berhasil.”

Lantas Erry menyayangkan, PT KAI dengan tanpa putusan persidangan, melakukan pengosongan begitu saja. Sebatas aksi sepihak. Hukum seperti diabaikan. Saat ini, dia lantas bakal bersikeras berusaha memperjuangkan haknya.

“Itu rumah kita, tanah kita. Karena sudah ada keputusan (undang-undang). Bahwa yang meninggali (lahan) selama sekian tahun, ia yang lebih berhak mendapatkan sertifikat,” sesalnya.

“Mengapa tiba-tiba direbut oleh mereka? Tidak berperikemanusiaan. Brutal,” tandasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan