Menelisik Sejarah Bandung dengan Konsep Unik Komunitas Aleut

Setelah membuat peserta tercuri perhatiannya, ia turut menceritakan urban legend gereja Santo Albanus yang beredar di lingkungan masyarakat. Ia menceritakan beberapa kejadian mistis yang seringkali terdengar dari lingkungan gereja, salah satunya terdengar suara radio antik rusak namun memutar siaran bahasa belanda di malam hari.

Tak lama setelah Annisa memberikan penuturan, para peserta kembali melanjutkan perjalanan. Berlanjut ke halaman rumah Pram, yaitu bapak berusia 60 tahunan yang tinggal di sebelah Rumah Kentang. Dengan antusias Pram menuturkan fakta sejarah, bahkan benda-benda kuno yang masih ia miliki disebar di meja kecil miliknya untuk dilihat oleh para peserta.

Disela-sela pemberian materi tentang benda kuno yang dimilikinya, ia meluruskan beberapa rumor yang beredar luas di lingkungan masyarakat. “Cerita tentang rumah kentang itu tidak benar. Banyak orang yang menyebarkan rumor berita itu, faktanya wangi kentang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar sini. Bukan dari rumor anak kecil masuk ke kuali kentang dan tidak bisa diselamatkan,” tegas Pram.

Ia juga meluruskan tentang aliran freemason yang kerap dianggap aliran sesat oleh masyarakat. Ibunya adalah peserta Freemason sendiri, ia menuturkan bahwa Freemason bukan aliran sesat melainkan suatu organisasi sosial yang hanya diisi oleh sejumlah petinggi, untuk membahas beragam aksi filantropis dan mengajak pesertanya untuk berbudi luhur.

Peserta kembali beranjak dari sana. Satu per satu titik sejarah di kota Bandung masih mereka jelajahi hingga jam menunjukan pukul 10 lebih. Mulai dari Stadion Siliwangi, SMAN 5 Bandung, Patung Verbraak di Jalan Ambon, lalu terhenti gazebo Lapangan Saparua Bandung untuk saling berbagi pengalaman dari tiap peserta yang hadir.

Koordinator Komunitas Aleut, Deuis Raniarti memaparkan kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan sejarah berdasarkan cerita urban legend. Legenda yang dikenal oleh banyak warga Bandung, terutama yang identik dengan hal mistis.

“Kondisi zaman dulu itu berbeda dengan yang sekarang. Kalau kondisi zaman dulu itu Kota Bandung masih dalam pembangunan jadi gak banyak bangunan seramai sekarang. Waktu itu juga dihuni oleh imigran dari luar gak cuma pribumi,” papar Rani.

Tinggalkan Balasan