LBH 5 Kritik Keras Polisi yang Tangani Kasus Holywings

Jabarekspres.com – Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Selatan telah menetapkan enam tersangka pekerja Holywings. Mereka menggunakan promo minuman keras dengan memakai nama Muhammad dan Maria.

Namun, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta beri kritikan keras terhadap pihak kepolisian atas kasus hukum Holywings.

Menurut LBH, polisi yang menetapkan pekerja Holywings sebagai tersangka dengan meggunakan berbagai pasal karet. LBH menjelaskan proses hukum terhadap kasus Holywings, karena adanya tekanan dari massa dengan ujaran kebencian atas penodaan agama.

“Proses hukum tersebut merupakan tindakan reaktif karena tekanan massa, prematur, dan menambah panjang daftar korban penerapan eksesif pasal karet mulai dari pasal ‘ujaran kebencian’, penodaan agama, dan kabar bohong,” tulis LBH dilansir dari laman resmi bantuan hukum, Selasa (28/6).

LBH Jakarta menyebut lima alasan bahwa proses hukum atas kasus Holywings bermasalah, yakni:

1. LBH Jakarta menilai polisi bertindak reaktif dan menunjukkan standar ganda jika dibandingkan dengan penanganan kasus-kasus lain. Kasus ini merupakan kasus kedua dalam satu bulan ini setelah sebelumnya polisi bertindak reaktif dalam kasus ‘rendang babi’ karena viral di media sosial.

Sebaliknya, kepolisian kerap menolak laporan, misalnya penolakan Polresta Banda Aceh terhadap seorang Perempuan korban pemerkosaan dengan alasan belum vaksin Covid-19 atau penolakan anggota Polsek Pulogadung atas laporan korban perampokan.

Penangkapan para pekerja Holywings berdasarkan laporan anggota kepolisian (Laporan Model A) juga membuktikan bahwa kepolisian mendefinisikan sendiri kerugian akibat tindakan yang dituduhkan kepada para pekerja Holywings dan kepolisian seolah-olah bertindak sebagai korban.

Penerapan pasal-pasal karet eksesif ditambah dengan laporan/pengaduannya dibuat oleh anggota kepolisian sendiri menambah bukti subjektifitas aparat dalam penegakan hukum pidana.

2. Pekerja Holywings dituduh melakukan penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP. Pasal ini diselipkan ke dalam KUHP melalui Pasal 4 UU 1/PNPS/1965.

Sehingga sebelum seseorang dijatuhi pidana berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965 terlebih dahulu harus ada tindakan dari Menteri Agama bersama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia.

Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU 1/PNPS/1965 yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Untuk itu, persyaratan formil-administratif dalam Pasal 3 harus terlebih dahulu dipenuhi sebelum Pasal 4 dapat diterapkan.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan