JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ungkap Status Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP.
KPK memastikan belum menemukan bukti keterlibatan Ganjar Pranowo dalam kasus tersebut.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, penyelidikan atau penyidikan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana harus didukung dengan bukti-bukti yang cukup.
“Sampai hari ini kita belum menemukan ada bukti atau tidak. Gak boleh kita menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa ada bukti,” ujar Firli di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis, (28/4).
Termasuk, lanjut Firli, apabila ada pihak yang diduga terlibat dalam suatu perkara, namun alat bukti tersebut tidak kuat maka harus dihentikan.
Sebab, dirinya menekankan kepastian hukum perlu ditegakkan dalam setiap penanganan perkara, termasuk kasus korupsi.
“Misalnya ada seseorang yang diduga melakukan suatu peristiwa pidana kalau buktinya tidak ada harus kita hentikan. Begitu juga orang-orang yang disebut (Ganjar-red). Justru kalau kita menyebut seseorang tanpa bukti itu keliru, inilah yang namanya kepastian hukum dan juga kepastian keadilan,” terangnya.
Lebih lanjut Firli memastikan lembaganya bekerja sesuai peraturan perundang-undangan dalam menangani suatu perkara korupsi.
“Sampai hari ini tidak ada bukti yang mengatakan bahwa yang disebut tadi (Ganjar-red) melakukan suatu peristiwa pidana. Kalau ada kita bawa, tapi kan sampai hari ini tidak ada,” tandasnya.
Diketahui, KPK menetapkan empat tersangka baru kasus korupsi proyek e-KTP pada Agustus 2019. Keempat tersangka itu, yakni mantan anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani; Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) sekaligus Ketua Konsorsium PNRI Isnu Edhi Wijaya; Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Husni Fahmi; dan Dirut PT Shandipala Arthaputra Paulus Tanos.
Penetapan keempat tersangka merupakan pengembangan dari perkara yang sama yang telah menjerat tujuh orang yang telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi atas proyek senilai Rp5,9 triliun dengan kerugian negara diperkirakan mencapai Rp2,3 triliun. (Fin-red)