Pesantren Tunanetra dan Kisah Para Penghafal Al-Quran Braille

“Soalnya Braille itu diraba juga pakai telunjuk, jadi huruf sama harakat dalam Bahasa Arab misah. Jadi sepekanya telunjuk ini, jadi lambat. Ini yang bikin pegel,” paparnya.

“‘Ini huruf apa?’ Apalagi, kan, ini enggak ada batasannya. Beda dengan huruf yang ada batas garis-garisnya. Jadi, Braille itu rata aja lurus. Kalau (baca) Al-Quran melenceng dan titik bawahnya teraba, jadi, kacau. Enggak terbaca hurufnya,” jelasnya.

Meski begitu, hal tersebut tak mematahkan semangat Amin. Terbukti dengan dirinya yang mampu lulus dengan waktu terbilang cepat. Kurang lebih hanya dua tahun.

Dia mampu menjadi tahfidz Al-Quran lantas mengabdikan diri untuk pesantren. Prestasi inipula yang membawa dirinya menjadi penerima beasiswa untuk berkuliah di Universitas Islam Bandung (Unisba) pada tahun ini.

Sementara itu saat ditanya perihal khataman Al-Quran, secara rendah hati Amin berkata, “Insyaallah, Alhamdulillah, mudah-mudahan sebis mungkin bisa tetap menjaganya. Alhamdulillah supaya (mengabdi) bisa menjadi buah pahala. memberikan ilmu yang bermanfaat.”

Dari Aceh ke Bandung

Lain halnya Amin, Via Faradillah berasal dari pulau sebrang, Aceh. Perempuan berusia 20 tahun ini terpikat mengemban ilmu ke Bandung setelah mengetahui kabar lewat sosial media.

“Awalnya dari grup WhatsApp. Dengerin audionya lalu pengin ke sini,” katanya.

Via mengaku, alasan lain yang membulatkan tekadnya itu lantaran di Aceh belum berdiri sebuah pesantren khusus disabilitas tunanetra.  Tidak ada, kata Via, rerata pesantren di kota kelahirannya tersebut merupakan pesantren ‘awas’ alias normal.

“Kaget, waktu itu nggak kepikiran juara. Padahal sedikit enggak lancar,” katanya saat disinggung soal dirinya yang merengkuh juara pertama dalam lomba MTQ Difabel tingkat nasional, beberapa waktu lalu yang berlangsung di Pusat Dakwah Islam (Pusdai), Kota Bandung.

Kendati pernah menjuarai kompetisi MTQ, Via yang mengaku seorang pengagum Muzzamil Hasballah tersebut, mengatakan bahwa penguasannya dalam membaca Al-Quran Braille masih kurang.

“Sudah 2 tahun dari 2020 di sini (pondok pesantren). Kalau untuk dibilang menguasai, belum mahir, tetapi udah lumayan peka dalam pembacaannya,” ucapnya.

Via yang ditemui sesaat sebelum pergi istirahat di perpustakaan pondok pesantren, mengaku apabila alasannya menghafal dan membaca Al-Quran murni didasari ibadah.

Tinggalkan Balasan