Pesantren Tunanetra dan Kisah Para Penghafal Al-Quran Braille

Adzan dzuhur berkumandang. Berdatangan satu per satu jemaah Masjid Darushudur, begitupula santri Pesantren Tunanetra Sam’an Darushudur yang mulai bermunculan dari pintu di samping mimbar. Mereka berjalan seraya meraba permukaan dinding masjid. Laksana mata yang melihat, jemari dan telapak tangan menuntunnya menuju saf yang masih tersedia.

Muhamad Nizar, Jabar Ekspres.

Circa 2018. Khusus penyandang tunanetra, Pesantren Sam’an Darushudur didirikan. Berlokasi di wilayah terpencil Kampung Sekegawir, Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Empat tahun sudah berjalan, pesantren ini mengemban mimpi-mimpi besar. Tak hanya melahirkan penghafal, mereka jua hendak menciptakan para pengajar Al-Quran Braille.

“Khususnya untuk disabilitas tunanetra. Bahkan dari awal, pendiri pesantren ini pun berasal dari seorang penyandang tunanetra,” ungkap guru asrama Pesantren Tunanetra Sam’an Darushudur, Samsul kepada Jabar Ekspres saat wawancara di wilayah pondok pesantren.

Ridwan Effendi merupakan sosok penting di balik berdirinya pesantren tersebut. Hidup dengan kondisi tunanetra, ia dipercaya oleh sebuah yayasan untuk mendirikan Pesantren Tunanetra Sam’an Darushudur. Terlepas dari kondisi yang demikian, penyandang gelar Doktor bidang Pendidikan Bahasa Arab, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mampu menjalankan pesantrennya.

Di samping kegiatan pesantren pada umumnya, sambung Samsul, para santri memang dididik bukan hanya sebatas mahir membaca Braille. Melainkan mahir pula dalam mengajarkan ilmunya. Hal ini bisa tercapai lantaran terdapat kelas penghafal Al-Quran Braille atau takhasus.

Selain tentunya menerima pelajaran agama, mereka memang dikhususkan untuk menjadi seorang tahfidz.

“Meski terdapat pula pelajaran lain, tapi kebanyakan mereka (fokus) hafalan (quran). Santri yang masuk ke dalam kelas ini dikhususkan untuk mencetak penghafal quran,” ungkapnya.

Adapun terdapat sejumlah syarat bagi seorang calon santri untuk dapat masuk ke dalam kelas tersebut. Diantaranya ialah mesti sudah bisa membaca tulisan braille.

“Mereka harus lancar braille. Walaupun bisa dibantu dengan murrotal (bacaan quran) dari pengeras suara, tapi, kan, beda kalau hanya mendengar. Jadi mesti bisa baca juga,” ucapnya.

“Mereka punya kewajiban setor hafalan sehari lima kali, 3 nambah, 2 ngulang. Dalam waktu satu tahun, mereka targetnya 10 juz. Jadi selama 3 tahun disini, santri sudah khatam 30 juz Al-Quran,” tambahnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan